RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Satuan Pendidikan : SD
Tema : Kehidupan sehari - hari
Kelas / Semester : 2 / II (dua)
Alokasi Waktu : 1X35 menit
Hari / Tanggal : Senin / 29 Maret 2010
I. STANDAR KOMPETENSI
1. Bahasa Indonesia
Memahami teks pendek yang dilisankan dan puisi anak yang dilisankan
2. Ilmu Pengetahuan Sosial
Memahami kedudukan dan peran anggota keluarga dalam keluarga dan lingkungan keluarga
3. Ilmu Pengetahuan Alam
Mengenal berbagai sumber energi yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari – hari dan kegunaannya
II. KOMPETENSI DASAR
1. Bahasa Indonesia
Menyebutkan kembali dengan kata- kata atau kalimat sendiri isi teks pendek
2. Ilmu Pengetahuan Sosial
Mendeskripsikan kedudukan dan peran anggota keluarga
3. Ilmu Pengetahuan Alam
Mengidentifikasi sumber – sumber energi ( energi panas, energi listrik, energi cahaya, energi bunyi )
III. INDIKATOR
1. Bahasa Indonesia
a. Mendengarkan cerita atau teks bacaan
b. Menjawab pertanyaan sesuai isi cerita yang didengar
c. Menceritakan kembali cerita dengan menggunakan kata- kata sendiri
2. Ilmu Pengetahuan Sosial
Mendeskripsikan kedudukan dan peran anggota keluarga (ayah, ibu, anak)
3. Ilmu Pengetahuan Alam
Menyebutkan contoh alat – alat rumah tangga yang menghasilkan panas, bunyi, cahaya, dan listrik
IV. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari materi denagn tema Hiburan, siswa diharapkan dapat :
1. Menceritakan kembali isi cerita yang didengarnya
2. Menyebutkan kedudukan dan peran anggota keluarga
3. Mengidentifikasi sumber – sumber energi (energi panas, energi listrik, energi cahaya, energi bunyi )
V. MATERI PEMBELAJARAN
1. Teks pendek “ Kegiatan Keluargaku sehari – hari”
2. Benda – benda yang dapat menghasilkan energi
VI. METODE PEMBELAJARAN
Model : Pembelajaran Tematik
Metode : Tanya Jawab, Penugasan, Diskusi
VII. KEGIATAN PEMBELAJARAN
1. Kegiatan Awal
• Guru membuka pelajaran dengan salam, memimpin doa, dan mempresensi siswa
• Appersepsi : anak – anak sebelum kalian berangkat sekolah, apa yang kalian lakukan dirumah?
• Guru menyampaikan tema pelajaran pada hari ini yaitu Kegiatan sehari - hari
2. Kegiatan Inti
• Guru menunjukkan teks pendek yang berjudul “ Kegiatan keluargaku Sehari – hari”
• Beberapa siswa secara bergiliran membaca teks pendek tersebut dengan nyaring, lancar, dan sesuai dengan intonasi yang tepat
• Siswa yang lain mendengarkan dan menyimak isi teks
• Guru memperhatikan dan membetulkan siswa apabila ada kesalahan dalam membaca
• Siswa menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan isi teks
• Siswa dibagi menjadi bebrapa kelompok
• Masing – masing kelompok berdiskusi tentang benda – benda yang dapat menhasilkan energi
• Guru berkeliling dan memberikan bimbingan
• Setelah siswa selesai, guru menunjuk beberapa kelompok siswa secara acak untuk menyajikan hasil kelompok dan siswa lain diminta mencermati
• Siswa dan guru membahas jawaban mereka dan melakukan tanya jawab pada siswa apabila ada yang belum paham
3. Kegiatan Akhir
• Dengan bimbingan guru siswa merangkum hasil pembelajaran dan melakukan refleksi kegiatan bersama
• Guru memberikan PR
• Guru menutup pelajaran dengan berdoa dan mengucapkan salam
VIII. PENILAIAN
1. Jenis Tes
Kognitif : Tes tertulis
Afektif : Kerjasama dalam Kelompok
Psikomotor : Kelancaran dalam membaca
2. Bentuk tes
Soal tes isian pendek
3. Kriteria Penilaian
Penilaian menggunakan nilai dengan skala 0 – 100. Nilai tertinggi 100, nilai terendah 0. Nilai akhir diperoleh dengan cara menjumlahkan nilai kognitif, afektif, dan psikomotor
Yogyakarta, 29 Maret 2010
Mengetahui
Dosen Pembimbing Praktikan
Woro Sri Hastuti Sutikno
TEKS PENDEK
KEGIATAN KELUARGAKU SEHARI – HARI
Setiap hari aku dan keluargaku selalu bangun pagi. Sebelum aku berangkat sekolah, aku selalu membantu ibu memasak di dapur. Ibu memasak menggunakan kompor. Hari ini ibu akan memasak sup. Sementara itu ayah bersiap – siap untuk bekerja. Setelah ibu memasak, ibu meyetrika pakaian ayah. Aku pun siap – siap untuk berangkat sekolah. Sebelum berangkat, aku dan keluargaku sarapan pagi bersama. Ditengah – tengah sarapan pagi, tiba – tiba telfon rumahku berbunyi. Kemudian ayah bergegas untuk mengangkatnya. Ternyata telfon itu dari nenekku. Itulah kegiatan dirumahku pada pagi ini.
Pertanyaan :
1. Apakah tugas ibu setiap pagi?
2. Siapakah yang mengangkat telfon?
3. Pagi ini ibu memasak apa?
4. Apakah yang kalian lakukan sebelum kesekolah?
5. Apakah kalian sering sarapan pagi bersama keluarga?
Ada berapa jumlah anggota keluarga kalian dirumah? Apa saja yang dilakukannya? Setiap hari apa yang dilakukan oleh ayah dan ibu?
BENDA – BENDA YANG DAPAT MENGHASILKAN ENERGI
ENERGI PANAS :
ENERGI CAHAYA :
ENERGI BUNYI :
Coretan Tinta
Selamat datang
di Sang Pelukis Otak Blog.
Semoga apa yang
termuat di BLog
ini bisa bermanfaat
dan harap digunakan
sebaik-baiknya.
"Sang Pelukis Otak"
di Sang Pelukis Otak Blog.
Semoga apa yang
termuat di BLog
ini bisa bermanfaat
dan harap digunakan
sebaik-baiknya.
"Sang Pelukis Otak"
Mainkan Cursor Mu....
Jumat, 29 Oktober 2010
Makalah Contextual Teaching And Learning (CTL)
Tekhnik Pembelajaran IPA
Contextual Teaching And Learning (CTL)
Tugas mata kuliah Pendidikan IPA SD
Dosen pengampu Woro Sri Hastuti, S. Pd
Disusun oleh:
SUTIKNO
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2010
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Belajar adalah proses aktivitas mental yang terjadi melalui interaksi aktif individu dengan lingkungannya yang menghasilkan perubahan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang relative konstan. Seseorang dikatakan belajar jika ada aktivitas dalam dirinya baik aktivitas intelektual, emosional, dan fisik juga diperlukan. Kondisi demikian akan bermakna bagi siwa karena mereka merasa tertantang, belajar lebih menyenangkan, dapat mendorong untuk bereksplorasi, memberi pengalaman sukses, dan dapat mengembangkan kecakapan berpikir.
Pengaturan lingkungan belajar sangat diperlukan agar siswa mampu melakukan control terhadap pemenuhan kebutuhan emosionalnya. Lingkungan belajar yang memberi kebebasan terhadap siswa untuk melakukan pilihan-pilihan tindakan belajar dan yang mendorongnya untuk terlibat secara fisik, emosional dan mental dalam proses belajar perlu diciptakan, agar anak mampu memunculkan kegiatan belajar yang kreatif dan produktif.
Di samping kebebasan, hal penting yang perlu ada dalam lingkungan belajar adalah realness. Lingkungan belajar yang bebas dan didasari oleh realness dari semua pihak yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran akan dapat menumbuhkan sikap dan persepsi yang positif terhadap belajar. Sikap dan persepsi yang positif terhadap belajar menjadi modal dasar untuk memunculkan prakarsa belajar. Ini semua sangat penting untuk mengembangkan kemampuan mental yang produktif. Oleh sebab itu, perlu diupayakan bentuk-bentuk pembelajarn yang dapat memfasilitasi.
Salah satu strategi pembelajaran yang ditawarkan untuk diterapkan oleh para guru, yang hingga kini cukup lama berkembang serta inovatif adalah Strategi Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching And Learning/CTL). Diperlukan komitmen, tekad dan pemahaman dari para guru atau pengajar serta pimpinan lembaga pendidikan dalam menyikapinya.
Tujuan
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan IPA SD. Selain itu, agar kami dan teman-teman mahasiswa dapat lebih memahami tekhnik pembelajaran Contextual Teaching And Learning.
Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching And Learning) ?
Apa saja komponen-komponen utama pembelajaran kontekstual ?
Bagaimanakah karakteristik pembelajaran kontekstual ?
Bagaimana langkah-langkah Menyusun Pembelajaran Kontekstual ?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching And Learning/CTL)
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru atau pengajar mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Depdiknas, 2002). Sedangkan bagi siswa, mereka belajar dari mengalami sendiri, mengkonstruksi pengetahuan, dan memberi makna pada pengetahuan tersebut. Dengan demikian hasil belajar diharapkan lebih bermakna baginya. Proses pembelajaran berlangsung secara ilmiah, dalam bentuk siswa bekerja dan mengalami sendiri, bukan berupa transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Oleh sebab itu, proses belajar lebih diutamakan daripada hasil belajar siswa.
Pembelajaran kontekstual (Contextual teaching learning atau CTL) merupakan suatu system atau pendekatan pembelajaran yang bersifat holistik. Pembelajaran ini terdiri atas komponen-komponen yang saling terkait, yang apabila dilaksanakan masing-masing memberikan dampak sesuai dengan perannya. Pembelajaran kontekstual didasarkan pada pemikiran bahwa siswa belajar apabila mereka melihat makna dari yang mereka pelajari. Dan makna dalam pekerjannya di sekolah apabila mereka dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki. Melalui CTL belajar dapat menjadi bermakna dengan mengaitkan konten dengan konteks dalam kehidupan sehari-hari siswa. Elaine B. Johnson (2002), menyimpulkan bahwa dalam pembelajaran kontekstual minimal ada tiga prinsip utama yaitu:
a. Prinsip Saling Ketergantungan (Interdependence)
Menurut hasil kajian para ilmuwan modern segala yang ada di alam semesta ini adalah saling berhubungan. Segala yang ada, baik manusia maupun bukan manusia, makhluk hidup ataupun benda mati atau satu sama lain berhubungan dan tergantung membentuk pola dan jaring system hubungan yang teratur.
Prinsip saling ketergantungan alam semesta, juga berlaku dalam pendidikan dan pembelajaran. Dalam kehidupan di sekolah siswa saling berhubungan dan tergantung dengan guru, kepala sekolah, orang tua serta berbagai nara sumber yang ada disekitarnya. Dalam proses pembelajaran siswa juga berhubungan dengan bahan ajar, buku sumber, media, sarana dan prasarana pendidikan, iklim sekolah dan lingkungan. Saling hubungan inilah bukan hanya sebatas memberikan dukungan, kemudahan tetapi juga harus dapat memberikan makna. Sebab makna hanya ada karena adanya hubungan yang berarti. Pembelajaran kontekstual menekankan hubungan antara bahan ajar yang bersifat konsep dengan penerapan kehidupan, antara teori dengan praktek, dan juga antara kegiatan siswa dengan kegiatan siswa yang lainnya.
b. Prinsip Diferensiasi (Differentiation)
Diferensiasi menunjuk kepada sifat alam yang secara terus menerus menimbulkan perbedaan, keragaman, keunikan. Alam tidak pernah mengulang dirinya tetapi keberadaannya selalu berbeda. Prinsip diferensiasi menunjukkan kreativitas yang luar biasa dari alam semesta. Diferensiasi bukan hanya menunjukkan perubahan dan kemajuan tanpa batas, tetapi juga kesatuan-kesatuan yang berbeda tersebut berhubungan, saling tergantung dalam keterpaduan yang bersipat simbiosis atau saling menguntungkan.
Pada prinsip ini diharapkan para guru untuk mendidik, mengajar, melatih, membimbing sesuai dengan tugas dan kewajibannya sebagai seorang guru.
Proses pembelajaran hendaknya dilaksanakan dengan menekankan kreativitas, keunikkan, variasi dan kolaborasi. Dan konsep-konsep tersebut bisa dilaksanakan dalam pembelajaran kontekstual. Bagaimana siswa berkolaborasi dengan teman-temannya untuk melakukan pengamatan, menghimpun dan mencatat informasi serta menemukan prinsip-prinsip dan pemecahan masalah.
c. Prinsip Pengorganisasian Diri (Self organization)
Setiap individu atau kesatuan (entity) dalam alam semesta mempunyai potensi melekat, yaitu kesadaran sebagai kesatuan yang utuh yang berbeda dari yang lain. Tiap orang memiliki organisasi diri, keteraturan diri, kesadaran diri, pemeliharaan diri sendiri, suatu energi atau kekuatan hidup, yang memungkinkan mempertahankan dirinya secara khas berbeda dengan yang lainnya.
Prinsip organisasi diri, menuntut para pendidik di sekolah agar mendorong setiap siswanya untuk memahami dan merealisasikan semua potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin. Pembelajaran kontekstual diarahkan untuk membantu para siswa mencapai keunggulan akademik, penguasaan standar, pengembangan sikap dan moral sesuai dengan harapan masyarakat
B. Komponen-Komponen Pembelajaran Kontekstua
l
Ada tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yaitu:
1. Konstruktivisme (Constructivism)
Pandangan kontruktivisme tentang belajar mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian makna oleh seseorang kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya sedikit demi sedikit, yang memungkinkan mengarah pada tujuan yang ingin dicapai. Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Pengajar-pengajar konstruktivistik yang mengakui dan menghargai dorongan diri siswa untuk mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, kegiatan pembelajarannya akan diarahkan agar terjadi aktivitas konstruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal. Strategi memperoleh pengetahuan lebih diutamakan dari pada seberapa banyak siswa mampu memperoleh dan mengingat pengetahuan. Siswa menentukan sendiri sumber yang akan dikaji dan cara melakukan eksplorasi. Penafsiran atau pemaknaan informasi dilakukan siswa dengan berbagai cara. Pemahaman siswa terhadap pengetahuan yang dipelajari dapat ditunjukkan melalui berbagai cara.
2. Menemukan (Inquiry)
Manusia dapat mengetahui sesuatu dengan inderanya. Melalui interaksinya dengan objek dan lingkungan, misalnya dengan melihat, mendengar, menjamah, membau, atau merasakan, seseorang dapat mengetahui sesuatu. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan, melainkan sesuatu proses pembentukan. Semakin banyak seseorang berinteraksi dengan obyek dan lingkungannya, pengetahuan dan pemahamannya akan obyek dan lingkungan tersebut akan meningkat dan lebih rinci.
Untuk itu diperlukan kemampuan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu:
1) Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman.
2) Kemampuan membandingkan dan memngambil keputusan dan pebedaan.
3) Kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada yang lainnya.
Kemampuan-kemampuan ini dibutuhkan agar siswa mampu menemukan sendiri pengetahuannya. Pengalaman dan jaringan struktur kognitif yang dimiliki seseorang juga sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil konstruksi pengetahuan. Pengalaman akan fenomena baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan. Oleh sebab itu, dalam proses belajar siswa perlu diberi kebebasan untuk melakukan ekplorasi, untuk menemukan dan menggali pengalaman di luar kelas, sedangkan pengajar berperan sebagai fasilitator. Pengajar harus selalu merancang kegiatan pembelajarannya merujuk pada kegiatan penemuan atau inkuiri. Langkah-langkah yang perlu dilalui dalam proses penemuan adalah observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hypotesis), pengumpulan data (data gathering), dan penyimpulan (conclusion).
3. Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan metode yang dapat mendorong keberanian siswa untuk aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Melalui bertanya akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk bebas menggali informasi dan mengkonfirmasikan sesuatu, tanpa harus takut bahwa kualitas pertanyaannya akan dievaluasi. Artinya, sewaktu siswa bertanya guru tidak akan menyalahkan atau menghalangi pertanyaan mereka walaupun pertanyaannya tidak sempurna. Guru berupaya menanggapi pertanyaan siswa agar mereka menjadi tidak takut salah dan aktif belajar. Melalui pertanyaan-pertanyaan yang diberkan oleh pengajar, guru dapat mendorong siswa untuk berpikir atau menganalisis sesuatu. Pertanyaan juga dapat dijadikan alat untuk membimbing dan mengarahkan perhatian siswa.
Pertanyaan juga dapat untuk mengetahui kemajuan berpikir siswa. Pertanyaan sebaiknya dimunculkan di seluruh aktivitas belajar siswa baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Keuntungan pemberian kesempatan bertanya ini adalah proses belajar dimulai dari pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa, sehingga belajar lebih bermakna dan informasi baru mudah dipahami.
4. Masyarakat Belajar ( Learning-Community)
Pembelajaran yang dilakukan dalam kelompok-kelompok yang heterogen melalui diskusi, sharing antar teman, saling bertanya, menjadikan proses belajar lebih menyenangkan, menantang dan lebih efektif. Terjadi arus informasi yaitu proses komunikasi dua arah atau lebih yang saling memperkaya, memberi dan menerima, serta bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Kegiatan belajar ini bisa terjadi jika tidak ada pihak yang mendominasi proses komunikasi. Tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, atau merasa paling tahu. Semua orang dapat menjadi sumber belajar. Guru dapat mengembangkan masyarakat belajar di kelasnya dalam bentuk kelompok kecil, kelompok besar, mendatangkan nara sumber dari luar, bekerja dengan kelas lain, atau bekerja dengan masyarakat.
Bentuk kelompok belajar kooperatif sifatnya lebih terstruktur, misalnya dengan menggunakan pedoman atau panduan kerja yang telah disediakan oleh guru. Sedangkan bentuk belajar kolaboratif sifatnya lebih independent. Maksudnya, siswa diberi kesempatan untuk melakukan aktivitas belajarnya secara mandiri,dan menentukan bentuk laporan hasil belajarnya secara mandiri pula.
5. Pemodelan (Modeling)
Model adalah salah satu bentuk scaffolding dalam pembelajaran, yaitu sesuatuyang dapat ditiru atau dicontoh oleh siswa. Di dalam kegiatan pembelajaran guru perlu menyediakan model-model atau sesuatu yang dapat dijadikan contoh oleh siswa dalam belajar. Dengan adanya model, siswa akan memperoleh gambaran yang jelas bagaimana sesuatu harus dilakukan atau dibuat. Guru bukanlah satu-satunya model, karya-karya dan prestasi siswa yang baik dapat dijadikan model, model juga dapat didatangkan dari luar.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi dalam pembelajaran kontekstual yaitu aktifitas berpikiir tentang apa yang baru saja dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa saja yang sudah dilakukan.
Siswa membandingkan pemahamannya sekarang terhadap sesuatu yang baru saja dipelajari dengan pemahaman awal sebelum mempelajari hal tersebut.
Siswa menghubungkan pengetahuan yang baru saja dipelajari dengan pengetahuan atau pengalaman-pengalaman sebelumnya. Refleksi merupakan respon siswa terhadap apa yang baru saja dipelajari.dalam pembelajaran, guru perlu membantu siswa dalam menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru saja dipelajari. Sehingga siswa merasakan manfaat pengetahuan yang baru saja dipelajari dalam kehidupannya. Ini berarti, pengetahuan mereka bertambah luas dan belajar akan lebih bermakna baginya.
7. Penilaian Autentik (Authentic-Assesment)
Penilaian dalam pembelajaran kontekstual dilakukan dengan berbagai cara diantaranya dengan mengumpulkan hasil karya siswa secara bertahap, baik yang dikerjakan di dalam maupun di luar kelas. Kemajuan belajar siswa diamati dari proses perkembangan belajarnya. Perkembangan siswa perlu diketahui, untuk mendeteksi adanya kesulitan-kesulitan belajar yang dialaminya, sehingga guru dapat dengan segera membantu mengatasinya.
Karena kemajuan belajar siswa perlu diketahui selama proses pembelajaran berlangsung, maka penilaian juga akan dilakukan selama proses pembelajaran. Data yang diperoleh tidak untuk melihat perolehan hasil belajar melainkan untuk melihat perkembangan belajar siswa dalam bentuk karya-karya nyata. Oleh sebab itu, penilaian autentik sangat tepat digunakan. Penilaian autentik berupaya menilai keterampilan (performasi/soft skill) siswa di samping juga penguasaan pengetahuannya. Penilaian tidak hanya dilakukan oleh pengajar saja, tapi dapat juga dilakukan oleh siapa saja termasuk siswa. Maka perlu diciptakan sesuatu dari hasil pemahaman siswa seperti dalam bentuk gambar seri, poster, cerita/drama/novel, prosedur kerja, makalah, karya seni, artikel, karikatur, resep dan sebagainya. Karya-karya tersebut dapat ditampilkan, didemonstrasikan, dipajang atau dipamerkan ke masyarakat.
Dengan pembelajaran kontekstual, di sampig siswa menguasai konsep, siswa juga mampu menerapkan konsep dan memecahkan masalah serta mampu mengkreasikan sesuatu, juga memiliki dampak pengiring (soft skill) seperti mampu berpikir kritis, bekerja sama, berdisiplin, bertanggungjawab, memiliki jiwa kepemimpinan, dan lainnya.
C. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa karakteristik pembelajaran kontekstual adalah adanya unsur-unsur, sebagai berikut:
1. Kerja sama
2. Saling menunjang
3. Menyenangkan/tidak membosankan
4. Belajar dengan bergairah
5. Pembelajaran terintegrasi
6. Menggunakan berbagai sumber
7. Siswa aktif-kritis, guru kreatif
8. Lingkungan belajar penuh dengan hasil karya siswa
9. Laporan hasil belajar siswa kepada orang tua tidak hanya dalam bentuk angka/huruf, tetapi juga hasil-hasil karya nyatanya.
D. Langkah-langkah Menyusun Pembelajaran Kontekstual
1) Menentukan Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran hendaknya mengandung kegiatan yang menerapkan ketrampilan akademik, social, personal dalam kehidupan nyata. Tujuan pembelajaran ini hendaknya dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang oprasional dari kompetensi dasar. Dalam penentuan tujuan hendaknya mempertimbangkan bahan materi yang akan disampaikan dengan lingkungan anak sebagai sumber belajar
2) Menentukan Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Dan dikembangkan dengan mengacu pada materi pokok yang ada dalam silabus. Materi hendaknya menghubungkan contoh-contoh dalam kegiatan siswa sehari-hari.
3) Memilih Metode Pembelajaran
Pada hakikatnya tidak ada satupun metode yang dianggap paling baik. Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemilihan metode hendaknya mempertimbangkan tujuan dan materi pembelajaran yang akan dikembangkan. Hendaknya metode yang dipilih adalah metode yang bisa membuat siswa belajar lebih aktif dan bermakna.
4) Langkah-Langkah kegiatan Pembelajaran
Langkah-langkah kegiatan pembelajaran sains terdiri dari :
a. Kegiatan awal
1) Pendahuluan
2) Motivasi
3) Merumuskan masalah
b. Kegiatan Inti
1) Menentukan hipotesa/opini
2) Melakukan kegiatan untuk mengumpulkan data
3) Mengolah data (melakukan diskusi)
4) Perumusan kesimpulan
5) Pemantapan (menghubungkan content (bahan ajar) dengan kontek dalam kehidupan sehari-hari siswa
c. Kegiatan Akhir
1) Melakukan penilaian
2) Tindak lanjut
5) Mencantumkan alat dan sumber pembelajaran
Alat dan sumber hendaknya mengacu pada jenis materi yang dipilih. Sumber belajar mencakup sumber rujukan, lingkungan, media dan nara sumber.
6) Mencantumkan penilaian
Penilaian dijabarkan atas teknik penilaian, bentuk penilaian dan jenis penilaian. Biasanya jika penilaian menggunakan teknik tes tertulis uraian, tes unjuk kerja, dan tugas rumah yang berupa proyek harus disertai rubrik penilaian.
PENUTUP
a. Kesimpulan
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru atau pengajar mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Depdiknas, 2002).
Ada tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yaitu:
1. Konstruktivisme (Constructivism)
2. Penilaian Autentik (Authentic-Assesment)
3. Refleksi (Reflection)
4. Pemodelan (Modeling)
5. Masyarakat Belajar ( Learning-Community)
6. Bertanya (Questioning)
7. Menemukan (Inquiry)
Karakteristik pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) antara lain adalah, sebagai berikut:
1. Kerja sama
2. Saling menunjang
3. Menyenangkan/tidak membosankan
4. Belajar dengan bergairah
5. Pembelajaran terintegrasi
6. Menggunakan berbagai sumber
7. Siswa aktif-kritis, guru kreatif
8. Lingkungan belajar penuh dengan hasil karya siswa
9. Laporan hasil belajar siswa kepada orang tua tidak hanya dalam bentuk angka/huruf, tetapi juga hasil-hasil karya nyatanya.
Pembelajaran kontekstual membantu siswa membentuk pengetahuannya dengan mengaitkan antara situasi dunia nyata mereka dengan materi pembalajaran serta mengaitkan antara pengetahuan yang telah dimiliki siswa dengan pengetahuan baru yang mereka dapatkan dari proses pembelajaran.
b. Saran
Dengan disusunnya makalah ini diharapkan guru dapat membuat kegiatan pembelajaran yang aktif dan menyenangkan karena siswa dapat memahami isi maeri yang disampaikan oleh guru, sehingga kegiatan pembelajaran dapat bermanfaat bagi siswa.
MAKALAH RASIONALISME DESCARTES
MAKALAH
“RASIONALISME DESCARTES”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Epistimologi Pendidikan.
Dosen Pembimbing : Bp. Hendro W.
KELOMPOK 3:
SUTIKNO
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2010
BAB I
Pendahuluan
Rene Descartes atau Cartesius dilahirkan di La Haye, sebuah kota kecil di Touraine, Perancis tahun 1596. Ia mendapatkan pendidikan di sekolah Jesuit di La Flèche. Selama di sekolah ini, karena kondisi kesehatannya yang kurang baik, ia diizinkan untuk tetap berada di tempat tidur dan ini pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan selama hidupnya. Di sekolah Jesuit, Descartes mendapatkan pelajaran-pelajaran tentang filsafat, fisika dan matematika.
Selama di sekolah ini pula ia ikut merayakan ditemukannya berbagai bulan yang ada pada planet Jupiter tahun 1611. Setelah meninggalkan La Flèche, Descartes melanjutkan pendidikannya ke sekolah hukum di Poitiers. Selanjutnya ia bepergian di beberapa negera Eropa selama satu dekade, termasuk tiga tahun di Paris, di mana ia menemukan Mersenne, yang kemudian menjadi mentornya. Pada tahun 1629, dalam pencariannya akan ketenangan dan kesunyian, ia menetap di Belanda. Belanda dianggap sebagai tempat yang paling tepat karena iklim kebebasannya yang terbaik di Eropa. Descartes menetap di Belanda sampai dengan 1649. Pada rentang waktu tahun-tahun inilah ia menulis banyak karya ilmiah. Pada Oktober 1649 pula ia pindah ke Stochkholm, Swedia, namun pada Februari tahun berikutnya yakni 1650, ia wafat karena penyakit pneumonia.
Sebagai seorang filosof, Descartes telah menghasilkan beberapa karya filsafat yakni: Discours de la méthode pour bien conduire sa raison et chercher les vérités dansles sciences (Discourse on Method), 1637; Meditationes de Prima Philosophia (Meditations on the First Philosoph), 1641: Principia Philosopiae (Principles of Philosophy), 1644;23 dan Les Passiones de L’ame (1650).
BAB II
ISI
A. Pengertian Rasionalisme
Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti akal. A.R. Lacey7 menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.
B. Ciri Filsafat Descartes
Inti metode Descartes adalah keraguan yang mendasar. Dia meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan-semua pengetahuan tradisional, kesan indrawinya, dan bahkan juga kenyataan bahwa dia mempunyai tubuh sekalipun-hingga dia mencapai satu hal yang tidak dapat diragukan, keberadaan dirinya sebagai pemikir. Oleh karena itu, dia sampai pada pertanyaan yang terkenal Cogito ergo sum. Sehingga dalam berhubungan dengan realita, Descartes mencoba untuk meragukan segala apa yang diterima oleh inderanya dan dia berusaha untuk menguak realitas dengan menggunakan akalnya. Karena menurutnya hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang dapat disebut sebagai pengetahuan yang ilmiah. Dan kebenaran yang diperoleh melalui indera mempunyai tingkat kesalahan yang lebih tinggi.
Meskipun demikian dia tidak mengingkari pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman. Hanya saja pengalaman dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.
Kemudian Descartes menolak untuk bergantung pada pendapat umum yang berkembang dalam masyarakat dalam melandaskan pemikirannya. Karena itu ia menolak seluruh hal kecuali kepastian dari pendapatnya sendiri. Sebagaimana yang diungkapkannya dalam buku Filsafat untuk umum karya Bambang Q. Anees dan Radea Juli A. Hambali,
Andaikata Kita membaca setiap karangan Plato dan Aristoteles, namun tanpa kepastian sendiri, kita tidak maju satu langkah pun dalam filsfat…….Pengertian historis kita lalu ditambah, namun bukan pemahaman kita.
Dalam membangun filsafatnya Descartes membuat pertanyaan-pertanyaan sebagai patokan dalam menentukan kebenaran dan keluar dari keraguan yang ada. Adapun persoalan-persoalan yang dilontarkan oleh Descartes untuk membangun filsafat baru antara lain:
a. Apakah kita bisa menggapai suatu pengetahuan yang benar?
b. Metode apa yang digunakan mencapai pengetahuan pertama?
c. Bagaimana meraih pengetahuan-pengetahuan selanjutnya?
d. Apa tolok ukur kebenaran pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Descartes menawarkan metode-metode untuk menjawabnya. Yang mana metode-metode tersebut harus dipegang untuk sampai pada pengetahuan yang benar:
1. Seorang filosuf harus hanya menerima suatu pengetahuan yang terang dan jelas.
2. Mengurai suatu masalah menjadi bagian-bagian kecil sesuai dengan apa yang ingin kita cari. Atau jika masalah itu masih berupa pernyataan: maka pernyataan tersebut harus diurai menjadi pernyataan-pernyataan yang sederhana. Metode yang kedua ini disebut sebagai pola analisis.
3. Jika kita menemukan suatu gagasan sederhana yang kita anggap Clear and Distinct, kita harus merangkainya untuk menemukan kemungkinan luas dari gagasan tersebut. Metode yang ketiga ini disebut dengan pola kerja sintesa atau perangkaian.
4. Pada metode yang keempat dilakukan pemeriksaan kembali terhadap pengetahuan yang telah diperoleh, agar dapat dibuktikan secara pasti bahwa pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang Clear and Distinct yang benar-benar tak memuat satu keraguan pun. Metode yang keempat ini disebut dengan verifikasi.
Jadi dengan keempat metode tersebut Descartes mengungkap kebenaran dan membangun filsafatnya untuk keluar dari keraguan bersyarat yang diperoleh dari pengalaman inderawinya.
C. Sebab Timbulnya Pemikiran Rasionalisme
Descartes merupakan orang pertama yang memiliki kapasitas filosofis yang sangat dipengaruhi oleh fisika baru dan astronomi. Ia banyak menguasai filsafat Scholastic, namun ia tidak menerima dasar-dasar filfasat Scholastic yang dibangun oleh para pendahulunya. Ia berupaya keras untuk mengkonstruksi bangunan baru filsafat. Hal ini merupakan terobosan baru semenjak zaman Aristoteles dan hal ini merupakan sebuah neo-self-confidence yang dihasilkan dari kemajuan ilmu pengetahuan. Dia berhasrat untuk menemukan sebuah ilmu yang sama sekali baru pada masyarakat yang akan memecahkan semua pertanyaan tentang kuantitas secara umum, apakah bersifat kontinim atau terputus.
Visi Descartes telah menumbuhkan keyakinan yang kuat pada dirinya tentang kepastian pengetahuan ilmiah, dan tugas dalam kehidupannya adalah membedakan kebenaran dan kesalahan dalam semua bidang pelajaran. Karena menurutnya semua ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas.
Pada dasarnya, visi dan filsafat Descartes banyak dipengaruhi oleh ilmu alam dan matematika yang berasas pada kepatian dan kejelasan perbedaan antara yang benar dan salah. Sehingga dia menerima suatu kebenaran sebagai suatu hal yang pasti dan jelas atau disebut Descartes sebagai kebenaran yang Clear and Distinct.
Dalam usahanya untuk mencapai kebenaran dasar tersebut Descartes menggunakan metode Deduksi, yaitu dia mededuksikan prinsip-prinsip kebenaran yang diperolehnya kepada prinsip-prinsip yang sudah ada sebelumnya yang berasal dari definisi dasar yang jelas. Sebagaimana yang ditulis oleh Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins dalam buku sejarah filsafat,
Kunci bagi deduksi keseluruhan Descartes akan berupa aksioma tertentu yang akan berfungsi sebagai sebuah premis dan berada diluar keraguan. Dan aksioma ini merupakan klaimnya yang terkenal Cogito ergo sum “Aku berpikir maka aku ada”
D. Pola Pikir Rasionalisme
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Meskipun begitu, ada perbedaan dengan kedua bentuk tersebut: Humanisme dipusatkan pada masyarakat manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim bahwa manusia lebih penting daripada hewan atau elemen alamiah lainnya. Ada rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi humanisme yang antroposentrik. Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewa-dewa; rasionalisme tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-dewi meski ia menolak kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme yang kuat dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis adalah atheis.
Di luar konteks religius, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum, umpamanya kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis adalah penolakan terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat atau kepercayaan yang sedang populer.
Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual. Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental yang diterangkan Rene Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental sama sekali.
E. Implikasi Aliran Rasionalisme Terhadap Dunia Pendidikan
Seperti kita ketahui bahwa Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa yang mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini adalah mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan atau angan-angan yang mungkin (all possible intelligebles).
Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya. Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir serta tertanam secara kodrati, spontan, selalu hadir kapan saja pikiran digunakan dan ini harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi dan akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alama lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh arsitektur bangunan agama, filsafat, sains, teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia.
Rasionalisme mencapai puncaknya melalui Rene Descartes yang terkenal dengan Cogito, ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada). Ia beranggapan bahwa pengetahuan dihasilkan oleh indra. Tetapi karena indra itu tidak dapat meyakinkan, bahkan mungkin pula menyesatkan, maka indra tidak dapat diandalkan. Yang paling bisa diandalkan adalah diri sendiri. Dengan demikian, inti rasionalisme adalah bahwa pengetahuan yang dapat diandalkan bukan berasal dari pengalaman, melainkan dari pikiran.
BAB III
PENUTUP
Rasionalisme adalah sebuah aliran yang menganggap kebenaran dapat diperoleh melalui pertimbangan akal. Akal dapat dijadikan patokan dalam memperoleh kebenaran sekalipun belum mendapatkan fakta empiris. Rasionalisme menganggap bahwa ilmu lahir dari induk produk sebuah rangkaian penalaran, bukan rangkaian fakta empiris. Hal ini didasarkan pada cara kerja deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis-premis yang dipakai dalam membuat rumusan keilmuan, harus jelas dan dapat diterima dengan pertimbangan akal.
Sistem kefilsafatan ini menganggap bahwa hal-hal yang ada di dalam seseorang tidak terpengaruh oleh seseorang. Biasanya, penganut paham ini mampu membedakan apakah sesuatu itu yang senyatanya atau bagaimanakah tampaknya sesuatu itu. Ukuran kebenaran, menurut kelompok ini diukur dari apakah gagasan itu benar memberikan pengetahuan kepada manusia atau tidak.
Harapan kami dengan mempelajari Realisme Descartes adalah semakin banyak calon guru yang dapat mengetahuinya.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens K., Sejarah Filsafat Yunani , Penerbit Kanisius, 1999
Naisaban L. Para Psikolog terkemuka di Dunia, Jakarta: Penerbit PT Grasindo, 2004
www.goegle// realisme descartes.com
EMPIRISME JOHN LOCKE
EMPIRISME JOHN LOCKE
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Epistimologi dan Logika
Dosen Pengampu: L. Hendro Wibowo
Disusun Oleh:
SUTIKNO
PGSD
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat dunia yang kedua adalah empirisme yang mengajarkan bahwa segala sesuatu dapat diketahui atau disebut kebenaran jika dapat dialami atau melalui pengalaman. Dengan kata lain, manusia harus mengalami dahulu sesuatu, baru sesuatu itu dikatakan kebenaran. Pendiri dari filsafat ini adalah John Locke. Para tokoh empirisisme lainnya adalah David Hume, Ludwig A. Feuerbach, dll.
Dalam teori empirisme John Lock mengatakan dengan singkat bahwa segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang masih putih, baru melalui pengalamanlah kertas itu terisi.
Dari pengertian ini, dapatlah disimpulkan bahwa hanya melalui pengalaman, kita baru dapat mengerti kebenaran dan agama identik dengan sebuah perasaan saja, bukan sebuah iman. Dalam masa itu, yang penting bagi mereka, adalah ketika mereka berdoa dan menyembah, mereka mengalami kepenuhan dari Roh-Nya, lalu setelah itu, mereka membagikan pengalamannya kepada orang lain dan bahkan ada yang mengajarkan dengan mutlak bahwa jika tidak memiliki pengalaman seperti itu berarti tidak ada Roh Kudus.
Timbulnya empirisisme pada zaman modern filsafat dikarenakan adanya rasa kebimbangan terhadap sains dan agama. Kegagalan cara pemikiran empirisisme adalah perasaan dan pengalaman manusia pasti berubah-ubah tergantung situasi dan kondisi (atau istilahnya mood). Adalah sangat berbahaya jika orang “Kristen” tiba-tiba mengklaim sedang mengalami hadirat Allah, padahal itu hanya halusinasinya saja (seperti onani, dan pemuasan hawa nafsu lainnya, dll).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Profil John Locke
John Locke adalah filosof yang berasal dari Inggris. Beliau dilahirkan di Wrington Somerst pada tanggal 29 Agustus 1632. Locke belajar di Westminster School selama lima tahun yaitu pada tahun 1647-1652 Pada tahun itu juga hingga tahun 1656 ia melanjutkan studinya di Christ Church, Oxford untuk mempelajari agama dan mendapat gelar B.A. disana. Kemudian ia melanjutkan studinya lagi untuk mendapatkan gelar M.A.
Tahun 1664 Locke diangkat sebagai pejabat penyensor buku-buku filsafat moral. Ia juga belajar ilmu kedokteran dan mahir dalam bidang ini. Pada tahun 1665 bersama Sir Walter Vane ia mengikuti sebuah misi diplomatik ke Elector Of Brandenburg tetapi kemudian ia menolak tawaran kerja diplomat dan kembali ke Oxford. Di sana ia mengonsentrasikan seluruh perhatiannya pada filsafat dan menemukan minat yang sama pada Earl of Shaftesbury yang mengundang Locke untuk tinggal di London house-nya. Di sana Locke mengembangkan ilmu politik dan filsafat sekaligus menjadi dokter pribadi bangsawan Earl of Shaftesbury. Pada tahun 1683 Shaftesbury terancam akan di-impeacchment karena telah melakukan pengkhianatan. Pada saat itu juga Locke lari ke Belanda dan di sana ia menulis esai yang berjudul An Essay Concerning Human Understanding yang diterbitkan pada tahun 1690. Setelah revolusi tahun 1688, Locke kembali ke Inggris untuk mengiringi raja Orange yang akan menjadi Queen Mary.
Setelah tahun 1690, kesehatan Locke menurun, tetapi beliau masih terus menulis dan melaksanakan tugas-tugasnya. Selama tiga belas tahun terakhir, ia tinggal di Oates dan ia meninggal di sana pada tanggal 28 Oktober 1704.
Karya-karya John Locke, antara lain:
1. A letter Concerning Toleration (Karangan-karangan tentang toleransi) pada tahun 1689.
2. An Essay Concerning Human Understanding ( Karangan tentang pengertian manusiawi) pada tahun 1690.
3. Two Treatises of Government (Dua karangan tentang pemerintahan) pada tahun 1690.
B. Pengertian Empirisme
Kata empirisme berasal dari bahasa Yunani emperia yang berarti pengalaman. Jadi empirisme merupakan sebuah paham yang menganggap bahwa pengalaman adalah sumber pengetahuan. Empirisme juga berarti sebuah paham yang menganggap bahwa pengalaman manusia didapat dari pengalaman-pengalaman yang nyata dan faktual. Pengalaman yang nyata tersebut didapatkan dari tangkapan pancaindra manusia. Sehingga pengetahuan yang didapat melalui pengalaman merupakan sebuah kumpulan fakta-fakta.
Doktrin empirisme tersebut adalah lawan dari rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia.
Ajaran-ajaran pokok dari empirisme, yaitu:
1. Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
2. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
3. Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
4. Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).
5. Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.
6. Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
C. Empirisme John Locke
Aliran Empirisme muncul sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh melalui panca indera.
John Locke, sebagai tokoh paling awal dalam urutan empirisme Inggris, merupakan sosok yang paling konservatif Ia merasa menerima keraguan sementara yang diajarkan oleh Descartes sehingga ia menolak anggapan Descartes yang menyatakan keunggulan dari “yang dipahami” adalah “yang dirasa”. Ia hanya menerima pemikiran matematis yang pasti dan penarikan dengan cara metode induksi.
Secara menarik Locke membandingkan budi manusia pada saat lahir dengan tabula rasa, yaitu sebuah papan kosong yang belum tertulis apapun, yang artinya segala sesuatu yang ada dalam pikiran berasal dari pengalaman inderawi, tidak dari akal budi. Otak itu seperti sehelai kertas yang masih putih dan baru melalui pengelaman inderawi itu sehelai kertas itu diisi. Dengan ini beliau tidak hanya mau menyingkirkan gagasan mengenai “ide bawaan”, tetapi juga untuk mempersiapkan penjelasan bagaimana arti disusun oleh kerja keras data sensoris (indrawi). Locke mengatakan bahwa tidak ada ide yang diturunkan, sehingga dia menolak innate idea atau ide bawaan. Menurut Locke semua ide diperoleh dari pengalaman, dan terdiri atas dua macam, yaitu:
1. Ide ide Sensasi, yang diperoleh dari pancaindra seperti, melihat, mendengar, dan lain-lain.
2. Ide-ide Refleksi yang diperoleh dari berbagai kegiatan budi seperti berpikir, percaya, dan sebagainya.
Jadi menurut Locke, apa yang kita ketahui adalah “ide”.
Kebanyakan orang mengatakan bahwa mereka sadar akan benda-benda. Tetapi menurut Locke objek kesadaran adalah ide. Ide adalah “objek akal seawktu seseorang berpikir, saya telah menggunakannya utnuk menyatakan apa saja yang dimaksud dengan fantasnya, maksud species, atau apa saja yang digunakan budi untuk berpikir….”(Sterling Lamperch 1928 dalam Hardono Hadi 1994).Locke juga mengatakan bahwa ide adalah “objek langsung dari persepsi” (Sterling Lamperch 1928 dalam Hardono Hadi 1994).
BAB III
PENUTUP
Dari uraian singkat diatas dpat disimpulkan bahwa tokoh awal dari empirisme adalah John Locke yang berpendapat bahwa segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang masih putih, baru melalui pengalamanlah kertas itu terisi.
REFERENSI
Hadi, Hardono. 1994. Epistimologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.
Hamersma, Harry. 1986. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.
http://masdiloreng.wordpress.com/2009/03/22/empiriseme/
Naisaban, Ladislaus. 2004. Para Psikolog Terkemuka Dunia. Jakarta: Gramedia.
Sumarna, Cecep. 2006. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
PENGERTIAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
MAKALAH
PENGERTIAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
MATA KULIAH PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
DISUSUN OLEH:
SUTIKNO
S-1 PGSD
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Untuk mempersiapkan rencana peyelenggarakan pendidikan inklusi di SD, dan sebagai bekal guru SD dalam pembelajran, para guru di SD perlu dibekali dengan berbagai pengetahuan tentang anak dengan kebutuhan khusus atau sering juga disebut anak berkebutuhan khusus. Untuk mengetahui siapa yang disebut anak dengan kebutuhan khusus serta karakteristiknya, maka diharapkan guru mampu melakukan identifikasi terhadap mereka, agar dalam pembelajaran dapat berjalan dengan optimal sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai..
Dalam rangka mengidentifiksi anak dengan kebutuhan khusus, diperlukan pengetahuan guru tentang berbagai jenis kelainan anak, diantaranya adalah kelainan fisik, mental intelektual, social, emosional. Di luar jenis kelainan tersebut terdapat anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa atau sering disebut sebagai anak yang memiliki kecerdasan dan bakat luar biasa. Masing-masing memiliki ciri dan tanda-tanda khusus atau karakteristik yang dapat digunakan oleh guru untuk menandai dalam rangka identifikasi anak dengan kebutuhan pendidikan khusus.
Catatan statistik kependudukan di suatu wilayah, akan mencatat jumlah semua anak usia sekolah di wilayah tersebut, tanpa harus membedakan anak normal atau berkebutuhan khusus. Demikian juga bagi dinas pendidikan suatu wilayah yang akan memberikan bantuan biaya pendidikan, tidak akan membedakan siswa normal dan berkebutuhan khusus, mereka hanya membedakan akan jenjang dan jenis pendidikan yang memperoleh bantuan biaya pendidikan. Hal ini berarti klasifikasi anak berkebutuhan khusus dalam permasalahan umum tidak begitu diperlukan atau kurang berarti, tetapi ada kalanya klasifikasi itu diperlukan.
Anak berkebutuhan khusus merupakan satu istilah umum yang menyatukan berbagai jenis kekhususan atau kelainan. Seorang guru sekolah khusus (SLB) merasakan kesulitan dalam menghadapi anak didiknya yaitu anak berkebutuhan khusus yang begitu heterogin, sehingga dia perlu mengelompokkan anak didiknya berdasar jenis kelainannya agar lebih homogin sehingga dapat memberikan pembelajaran yang lebih optimal.
Untuk kepentingan penanganan baik pendidikan maupun pengajaran dan therapy terhadap anak berkebutuhan khusus, maka diperlukan klasifikasi dengan tujuan agar penanganan anak lebih sesuai dan memperoleh hasil yang optimal.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, mental-intelektual, social, emosional) dalam proses pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Sedangkan Anak berkebutuhan khusus menurut Heward adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) bisa memiliki masalah dalam sensorisnya, motoriknya, belajarnya, dan tingkahlakunya. Semua ini mengakibatkan terganggunya perkembangan fisik anak. Hal ini karena sebagian besar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) mengalami hambatan dalam merespon rangsangan yang diberikan lingkungan untuk melakukan gerak, meniru gerak dan bahkan ada yang memang fisiknya terganggu sehingga ia tidak dapat melakukan gerakan yang terarah dengan benar. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan layanan yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya.
Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan/ penyimpangan tertentu, tetapi kelainan/penyimpangan tersebut tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak dengan kebutuhan khusus.
B. JENIS ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Konsep anak berkebutuhan khusus (children with special needs) memiliki makna dan spektrum yang lebih luas dibandingkan dengan konsep anak luar biasa (exceptional children). Anak berkebutuhan khusus ini memiliki apa yang disebut dengan hambatan belajar dan hambatan perkembangan (barier to learning and development). Oleh sebab itu mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan hambatan belajar dan hambatan perkembang yang dialami oleh masing-masing anak.
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dibagi menjadi 3 jenis kelainan yaitu :
1. Kelainan Mental terdiri dari
a. Mental Tinggi
Sering dikenal dengan anak berbakat intelektual, dimana selain memiliki kemampuan intelektual di atas rerata normal yang signifikan juga memiliki kreativitas dan tanggung jawab terhadap tugas. Sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata, memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
b. Mental rendah
Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual (IQ) di bawah rerata dapat dibagi menjadi 2 kelompok: yaitu anak lamban belajar (slow learners) yaitu anak yang memiliki IQ antara 70-90. Sedangkan anak yang memiliki IQ di bawah 70 dikenal dengan anak berkebutuhan khusus.
c. Berkesulitan Belajar Spesifik
Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar (achivement) yang diperoleh siswa. Anak berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang memiliki kapasitas intelektual normal ke atas tetapi memiliki prestasi belajar rendah pada bidang akademik tertentu.
Anak berkesulitan belajar adalah individu yang memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang dapat mempengaruhi kemampuan berfikir, membaca, berhitung, berbicara yang disebabkan karena gangguan persepsi, brain injury, disfungsi minimal otak, dislexia, dan afasia perkembangan. individu kesulitan belajar memiliki IQ rata-rata atau diatas rata-rata, mengalami gangguan motorik persepsi-motorik, gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang dan keterlambatan perkembangan konsep.
2. Kelainan Fisik meliputi:
a. Kelainan Tubuh (Tunadaksa)
Adanya kondisi tubuh yang menghambat proses interaksi dan sosialisasi indifidu meliputi kelumpuhan yang dikarenakan polio, dan gannguan pada fungsi syaraf otot yang disebabkan kelayuan otak (cerebral palsy ), serta adanya kehilangan anggota tubuh sehingga anggota tubuhnya tidak lengkap, tidak seperti anak normal pada umumnya. Penyebab-penyebab tuna daksa diantaranya adalah :
1. kerusakan karena keturunan, atau dibawa sejak lahir
2. kerusakan yng tewrjadi pada waktu kelahiran
3. infeksi contoh poliomyelitis
4. kondisi traumatik contoh : kecelakaan, amputasi, luka bakar
5. tumor.
Bimbingan tyang diberikan untuk tuna daksa :
1. pengembangan self-respect
2. Bimbingan kepribadian baik pada anak dan orang tua
3. bimbingan sosial dalam bergaul.
b. Kelainan Indera Penglihatan (Tunanetra)
Seseorang yang sudah tidak mampu menfungsikan indera penglihatannya untuk keperluan pendidikan dan pengajaran walaupun telah dikoreksi dengan lensa. Kelainan penglihatan dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu buta dan low vision. Seorang anak dikatakan buta jika anak tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0). Sedangkan low vision terjadi bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu membaca headline pada surat kabar.
c. Kelainan Indera Pendengaran (Tunarungu)
Kelainan pendengaran adalah seseorang yang telah mengalami kesulitan untuk menfungsikan pendengarannya untuk interaksi dan sosialisasi dengan lingkungan termasuk pendidikan dan pengajaran. Kelainan pendengaran dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu tuli (the deaf) dan kurang dengar (hard of hering). Tuli adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids)
.
d. Kelainan Wicara
Seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti orang lain. Kelainan wicara ini dapat bersifat fungsional dimana mungkin disebabkan karena ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya ketidak sempurnaan organ wicara maupun adanya gangguan pada organ motoris yang berkaitan dengan wicara. Biasanya anak yang menderita gangguan kelaianan wicara tersebut dapat diajak komunikasi tetapi dengan menggunakan bahasa isyarat.
3. Kelainan Emosi
Gangguan emosi merupakan masalah psikologis, dan hanya dapat dilihat dari indikasi perilaku yang tampak pada individu. Adapun klasifikasi gangguan emosi meliputi:
a. Gangguan Perilaku
1. mengganggu di kelas
2. tidak sabaran-terlalu cepat bereaksi
3. tidak menghargai-menentang
4. menyalahkan orang lain
5. kecemasan terhadap prestasi di sekolah
6. dependen pada orang lain
7. pemahaman yang lemah
8. reaksi yang tidak sesuai
9. melamun, tidak ada perhatian, menarik diri
b. Gangguan Konsentrasi (ADD/Attention Deficit Disorder)
Enam atau lebih gejala inattention, berlangsung paling sedikit 6 bulan. Ketidakmampuan untuk beradaptasi dan tingkat perkembangannya tidak konsisten.
Gejala-gejala inattention tersebut ialah:
1. Sering gagal untuk memperhatikan secara detail, atau sering membuat kesalahan dalam pekerjaan sekolah atau aktivitas yang lain.
2. Sering kesulitan untuk memperhatikan tugas-tugas atau aktivitas permainan.
3. Sering tidak mendengarkan ketika orang lain berbicara.
Sering tidak mengikuti instruksi untuk menyelesaikan pekerjaan sekolah.
4. Kesulitan untuk mengorganisir tugas-tugas dan aktivitas-aktivitas.
5. Tidak menyukai pekerjaan rumah dan pekerjaan sekolah.
6. Sering tidak membawa peralatan sekolah seperti pensil, buku, dan sebagainya.
7. Sering mudah beralih pada stimulus luar.
8. Mudah meluapkan terhadap aktivitas sehari-hari.
c. Anak Hiperaktive (ADHD/Attention Deficit with Hiperactive Disorder)
1. Perilaku tidak bisa diam
2. Ketidak mampuan untuk memberi perhatian yang cukup lama
3. Hiperaktivitas
4. Aktivitas motorik yang tinggi
5. Mudah buyarnya perhatian
6. Canggung
7. Infleksibilitas
8. Toleransi yang rendah terhadap frustasi
9. Berbuat tanpa dipikir akibatnya
Perkembangan layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus tidak akan lepas dari peran dan peranan pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional. Untuk peningkatan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus Departemen Pendidikan Nasional melalui direktorat pembinaan sekolah luar biasa (PSLB) memiliki kebijakan tersendiri dalam mengelompokkan anak-anak berkebutuhan khusus, walaupun sebenarnya sama hanya pada klasifikasi yang dikemukakan oleh PSLB lebih pada aplikasi jenis sekolah luar biasa yang ada di lapangan. Adapun klasifikasi yang diberikan oleh Direktorat PSLB (Dir. PSLB: 2006:20-21) adalah sebagai berikut:
A. Tunanetra
B. Tunarungu
C. Berkebutuhan khusus: (antara lain Down Syndroms)
1. C : Berkebutuhan khusus Ringan (IQ = 50-70)
2. C1 : Berkebutuhan khusus Sedang (IQ = 25-50)
3. C2 : Berkebutuhan khusus Berat (IQ < 25) D. Tunadaksa: 1. D : Tunadaksa Ringan 2. D1 : Tunadaksa Sedang E. Tunalaras (Dysruptive) F. Tunawicara G. Tunaganda H. HIV AIDS I. Gifted : Potensi Kecerdasan Istimewa (IQ > 125)
J. Talented : Potensi Bakat Istimewa (Multiple Intelligences : Language, Logico Mathematic, Visuospasial, Bodily-kinesthetic, Musical, Interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual)
K. Kesulitan Belajar (antara lain Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/kesulitan membaca, Dysgraphia/kesulitan menulis, Dyscalculia/kesulitan menghitung, Dysphasia/kesulitan berbicara, Dyspraxia/kesulitan motorik).
L. Lambat Belajar (IQ = 70-90)
M. Autis
N. Korban Penyalahgunaan Narkoba
O. Indigo
BAB III
PENUTUP
Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, mental-intelektual, social, emosional) dalam proses pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) bisa memiliki masalah dalam sensorisnya, motoriknya, belajarnya, dan tingkahlakunya. Semua ini mengakibatkan terganggunya perkembangan fisik anak. Hal ini karena sebagian besar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) mengalami hambatan dalam merespon rangsangan yang diberikan lingkungan untuk melakukan gerak, meniru gerak dan bahkan ada yang memang fisiknya terganggu sehingga ia tidak dapat melakukan gerakan yang terarah dengan benar. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan layanan yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya
Oleh karena itu dengan mempelajari dan mengidentifikasi berbagai karakteristik dari ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) tersebut maka seorang guru maupun calon guru diharapkan dapat memahami para siswanya agar proses pembelajaran diharapkan dapat berlangsung dengan baik sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Somantri, Sutjihati.2007.Psikologi Anak Luar Biasa.Bandung:Refika Aditama
Haryani,2009. Kumpulan Materi Bimbingan di SD.
http://www.ditplb.or.id/profile.php?id=52\par
MAKALAH PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Makalah
Pendidikan IPS SD sebagai Pendidikan Multikultural
Di Susun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pengembangan Pembelajaran IPS SD
Dosen Pengampu : Mujinem , M. Hum
Disusun oleh
Sutikno
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi banyak masyarakat yang kurang peduli dengan budaya yang ada di Indonesia. Masyarakat lebih memilih budaya dari luar daripada budaya kita sendiri, ini menyebabkan masyarakat Indonesia semakin tidak mengerti akan pentingnya budaya sendiri. Padahal setelah kita menyadari budaya dari luar belum tentu lebih baik daripada budaya kita.
Di sisi lain masyarakat dari luar semakin mengincar budaya kita. Banyak dari mereka yang mengklaim budaya kita.seperti Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange dll.Itu membuktikan masyarakat kurang memperhatikan budaya kita. Setelah tahu negara lain mengklaim budaya kita, kita baru menyalahkan negara lain dan memikirkan mengenai hak paten. Masyarakat kurang menyadari bahwa di Indonesia sangat beragam kebudayaan-kebudayaan daerah. Kalau mereka bisa memanfaatkan budaya dan mengolahnya dengan baik maka itu sangat berguna bagi negara kita.
Untuk mengatasi masalah tersebut maka digagaskan mengenai Pendidikan Multikultural. Pendidikan Multikulturan itu sendiri merupakan pendidikan yang bertujuan agar masyarakat kita semakin peduli dengan keberagaman bangsa kita sehingga secara sadar kita dapat memanfaatkan keberagaman tersebut.
B. Tujuan:
Setelah mempelajari pendidikan multikultural kita diharapkan:
1. Mampu mengidentifikasi problem kemasyarakat pendidikan multikultural di Indonesia
2. Mampu membedakan penyakit budaya di Indonesia
3. Mampu menerapkan Pendidikan Multikultural sebagai pembelajaran di Sekolah Dasar
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Multikultural
Pendidikan Multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara (Banks, 2001). Di dalam pengertian ini terdapat adanya pengakuan yang menilai penting aspek keragaman budaya dalam membentuk perilaku manusia.
James A. Banks dalam bukunya ”Multicultural Education,” mendefinisikan Pendidikan Multikultural sebagai ide, gerakan pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan supaya siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah.
Jadi Pendidikan Multikultural akan mencakup:
a. Ide dan kesadaran akan nilai penting keragaman budaya.
b. Gerakan pembaharuan pendidikan.
c. Proses pendidikan.
B. Dasar Pendidikan Multikultural
Berdasarkan kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural, maka untuk membentuk negara Indonesia yang kokoh perlu mengembangkan jenis pendidikan yang cocok untuk bangsa yang multikultural. Jenis pendidikan yang cocok untuk bangsa yang multikultur ini adalah Pendidikan Multikultural.
Pendidikan Multikultural paling tidak menyangkut tiga hal yaitu (1) ide dan kesadaran akan nilai penting keragaman budaya, (2) gerakan pembaharuan pendidikan dan (3) proses.
1. Kesadaran Nilai Penting Keragaman Budaya
Perlu peningkatan kesadaran bahwa semua siswa memiliki karakteristik khusus karena usia, agama, gender, kelas sosial, etnis, ras, atau karakteristik budaya tertentu yang melekat pada diri masing-masing. Pendidikan Multikultural berkaitan dengan ide bahwa semua siswa tanpa memandang karakteristik budayanya itu seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah. Perbedaan yang ada itu merupakan keniscayaan atau kepastian adanya namun perbedaan itu harus diterima secara wajar dan bukan untuk membedakan. Artinya perbedaan itu perlu kita terima sebagai suatu kewajaran dan perlu sikap toleransi agar kita bisa hidup berdampingan secara damai tanpa melihat unsur yang berbeda itu untuk membeda-bedakan.
2. Gerakan Pembaharuan Pendidikan
Ide penting yang lain dalam Pendidikan Multikultural adalah bahwa sebagian siswa yang berkarakteristik, ternyata ada yang memiliki kesempatan yang lebih baik untuk belajar di sekolah favorit tertentu sedangkan siswa dengan karakteristik budaya yang berbeda tidak memiliki kesempatan itu.
Beberapa karakteristik institusional dari sekolah secara sistematis menolak kelompok siswa untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama, walaupun itu dilakukan secara halus. Dalam arti, dibungkus dalam bentuk aturan yang hanya bisa dipenuhi oleh segolongan tertentu dan tidak bisa dipenuhi oleh golongan yang lain
3. Proses Pendidikan
Pendidikan Multikultural juga merupakan proses (pendidikan) yang tujuannya tidak akan pernah terrealisasikan secara penuh. Pendidikan Multikultural adalah proses menjadi. Pendidikan Multikultural harus dipandang sebagai suatu proses yang terus-menerus (an ongonging process), dan bukan sebagai sesuatu yang langsung bisa tercapai. Tujuan utama dari Pendidikan Multikultural adalah untuk memperbaiki prestasi secara utuh bukan sekedar meningkatkan skor.
C. Tujuan Pendidikan Multikultural
Tujuan Pendidikan Multikultural dapat mencakup tiga aspek belajar (kognitif, afektif, dan tindakan) dan berhubungan baik nilai-nilai intrinsik (ends) maupun nilai instrumental (means) Pendidikan Multikultural.
Tujuan Pendidikan Multikultural mencakup:
1. Pengembangan Literasi Etnis dan Budaya
Salah satu alasan utama gerakan untuk memasukkan Pendidikan Multikultural dalam program sekolah adalah untuk memperbaiki kelalaian dalam penyusunan kurikulum. Pertama, kita harus memberi informasi pada siswa tentang sejarah dan kontribusi dari kelompok etnis yang secara tradisional diabaikan dalam kurikulum dan materi pembelajaran, kedua, kita harus menempatkan kembali citra kelompok ini secara lebih akurat dan signifikan, menghilangkan bias dan informasi menyimpang yang terdapat dalam kurikulum. Yang dimaksud dengan informasi menyimpang ini adalah informasi yang salah tentang sistem nilai dan budaya dari etnis tertentu atau melihat sistem nilai budaya mereka dari sudut pandang kelompok lain. Siswa masih terlalu sedikit mengetahui tentang sejarah, pewarisan, budaya, bahasa, dan kontribusi kelompok masyarakat yang beragam dari bangsanya sendiri.
Jadi, tujuan utama Pendidikan Multikultural adalah mempelajari tentang latar belakang sejarah, bahasa, karakteristik budaya, sumbangan, peristiwa kritis, individu yang berpengaruh, dan kondisi sosial, politik, dan ekonomi dari berbagai kelompok etnis mayoritas dan minoritas. Informasi ini harus komprehensif, analistis, dan komparatif, dan harus memasukkan persamaan dan perbedaan di antara kelompok-kelompok yang ada.
2. Perkembangan Pribadi
Dasar psikhologis Pendidikan Multikultural menekankan pada pengembangan pemahaman diri yang lebih besar, konsep diri yang positif, dan kebanggaan pada identitas pribadinya. Penekanan bidang ini merupakan bagian dari tujuan Pendidikan Multikultural yang berkontribusi pada perkembangan pribadi siswa, yang berisi pemahaman yang lebih baik tentang diri yang pada akhirnya berkontribusi terhadap keseluruhan prestasi intelektual, akademis, dan sosial siswa.
Siswa merasa baik tentang dirinya sendiri karena lebih terbuka dan reseptif (menerima) dalam berinteraksi dengan orang lain dan menghormati budaya dan identitasnyanya. Pendapat ini mendapat justifikasi lebih lanjut dengan temuan penelitian yang berkaitan dengan adanya hubungan timbal balik antara konsep diri, prestasi akademis, identitas individu, etnis dan budaya.
3. Klarifikasi Nilai dan Sikap
Pendidikan Multikultural mengangkat nilai-nilai inti yang berasal dari prinsip martabat manusia (human dignity), keadilan, persamaan, kebebasan, dan demokrasi. Maksudnya adalah mengajari generasi muda untuk menghargai dan menerima pluralisme etnis, menyadarkan bahwa perbedaan budaya tidak sama dengan kekurangan atau rendah diri, dan untuk mengakui bahwa keragaman merupakan bagian integral dari kondisi manusia. Pengklarifikasian sikap dan nilai etnis didesain untuk membantu siswa memahami bahwa berbagai konflik nilai itu tidak dapat dielakkan dalam masyarakat pluralistik; dan bahwa konflik tidak harus menghancurkan dan memecah belah.
4. Kompetensi Multikultural
Penting sekali bagi siswa untuk mempelajari bagaimana berinteraksi dengan dan memahami orang yang secara etnis, ras, dan kultural berbeda dari dirinya. Dunia kita menjadi semakin lebih beragam, kompak, dan saling tergantung. Namun, bagi sebagian besar siswa, awal-awal pembentukan kehidupannya dihabiskan dengan isolasi atau terkurung di daerah kantong secara etnis dan kultural. Kita biasa hidup dalam kantong-kantong budaya yang sempit yang hanya mengenal budaya yang sempit pula. Peralihan dari generasi ke generasi mengalami penurunan pemahaman akan budaya kita.
Pendidikan Multikultural dapat meredakan ketegangan ini dengan mengajarkan ketrampilan dalam komunikasi lintas budaya, hubungan antar pribadi, pengambilan perspektif, analisis kontekstual, pemahaman sudut pandang dan kerangka berpikir alternatif, dan menganalisa bagaimana kondisi budaya mempengaruhi nilai, sikap, harapan, dan perilaku. Pendidikan Multikultural dapat membantu siswa mempelajari bagaimana memahami perbedaan budaya tanpa membuat pertimbangan nilai yang semena-mena tentang nilai intrinsiknya. Untuk mencapai tujuan ini anak dapat diberi pengalaman belajar dengan memberi berbagai kesempatan pada siswa untuk mempraktekkan kompetensi budaya dan berinteraksi dengan orang, pengalaman, dan situasi yang berbeda.
5. Kemampuan Ketrampilan Dasar
Tujuan utama Pendidikan Multikultural adalah untuk memfasilitasi pembelajaran untuk melatih kemampuan ketrampilan dasar dari siswa yang berbeda secara etnis. Pendidikan Multikultural dapat memperbaiki penguasaan membaca, menulis dan ketrampilan matematika; materi pelajaran; dan ketrampilan proses intelektual seperti pemecahan masalah, berpikir kritis, dan pemecahan konflik dengan memberi materi dan teknik yang lebih bermakna untuk kehidupan dan kerangka berpikir dari siswa yang berbeda secara etnis. Menggunakan materi, pengalaman, dan contoh-contoh sebagai konteks mengajar, mempraktekkan, dan mendemonstrasikan penguasaan ketrampilan akademis dan mata pelajaran dapat meningkatkan daya tarik pembelajaran, mempertinggi relevansi praktis ketrampilan yang dipelajari, dan memperbaiki tempo siswa dalam melaksanakan tugas.
6. Persamaan dan Keunggulan Pendidikan
Tujuan persamaan multikultural berkaitan erat dengan tujuan penguasaan ketrampilan dasar, namun lebih luas dan lebih filosofis. Untuk menentukan sumbangan komparatif terhadap kesempatan belajar, pendidik harus memahami secara keseluruhan bagaimana budaya membentuk gaya belajar, perilaku mengajar, dan keputusan pendidikan. Mereka harus mengembangkan berbagai alat untuk melengkapi hasil belajar yang menggambarkan preferensi dan gaya dari berbagai kelompok dan individu. Dengan memberi pilihan yang lebih pada semua siswa pilihan tentang bagaimana mereka akan belajar, pilihan yang sesuai dengan gaya budaya mereka, tidak seorang pun akan terlalu dirugikan atau diuntungkan pada level prosedural dari belajar. Pilihan ini akan membimbing ke paralelisme (misalnya persamaan) dalam kesempatan belajar dan lebih komparatif dalam prestasi maksimum siswa dalam kemampuan intelektualnya.
7. Memperkuat Pribadi untuk Reformasi Sosial
Tujuan terakhir dari Pendidikan multikultural adalah memulai proses perubahan di sekolah yang pada akhirnya akan meluas ke masyarakat. Tujuan ini akan melengkapi penanaman sikap, nilai, kebiasaan dan ketrampilan siswa sehingga mereka menjadi agen perubahan sosial (social change agents) yang memiliki komitmen yang tinggi dengan reformasi masyarakat untuk memberantas perbedaan (disparities) etnis dan rasial dalam kesempatan dan kemauan untuk bertindak berdasarkan komitmen ini. Untuk melakukan itu, mereka perlu memperbaiki pengetahuan mereka tentang isu etnis di samping mengembangkan kemampuan pengambilan keputusan, ketrampilan tindakan sosial, kemampuan kepemimpinan, dan komitmen moral atas harkat dan persamaan. Mereka tidak hanya perlu memahami dan mengapresiasi mengapa pluralisme etnis dan budaya itu ada, namun juga bagaimana menterjemahkan pengetahuan kepada keputusan dan tindakan yang berhubungan dengan isu, peristiwa dan situasi sosiopolitis yang esensial.
8 Memiliki wawasan kebangsaan/kenegaraan yang kokoh.
Dengan mengetahui kekayaan budaya bangsa itu akan tumbuh rasa kebangsaan yang kuat. Rasa kebangsaan itu akan tumbuh dan berkembang dalam wadah negara Indonesia yang kokoh. Untuk itu Pendidikan Multikultural perlu menambahkan materi, program dan pembelajaran yang memperkuat rasa kebangsaan dan kenegaraan dengan menghilangkan etnosentrisme, prasangka, diskriminasi dan stereotipe.
9. Memiliki wawasan hidup yang lintas budaya dan lintas bangsa sebagai warga dunia.
Hal ini berarti individu dituntut memiliki wawasan sebagai warga dunia (world citizen). Namun siswa harus tetap dikenalkan dengan budaya lokal, harus diajak berpikir tentang apa yang ada di sekitar lokalnya. Mahasiswa diajak berpikir secara internasional dengan mengajak mereka untuk tetap peduli dengan situasi yang ada di sekitarnya – act locally and globally.
10 Hidup berdampingan secara damai.
Dengan melihat perbedaan sebagai sebuah keniscayaan, dengan menjunjung tinggi nilai kemanusian, dengan menghargai persamaan akan tumbuh sikap toleran terhadap kelompok lain dan pada gilirannya dapat hidup berdampingan secara damai.
D. Fungsi Pendidikan Multikultural
The National Council for Social Studies (Gorski, 2001) mengajukan sejumlah fungsi yang menunjukkan pentingnya keberadaan dari Pendidikan Multikultural.
Fungsi tersebut adalah :
1. Memberi konsep diri yang jelas.
2. Membantu memahami pengalaman kelompok etnis dan budaya ditinjau dari sejarahnya.
3. Membantu memahami bahwa konflik antara ideal dan realitas itu memang ada pada setiap masyarakat.
4. Membantu mengembangkan pembuatan keputusan (decision making), partisipasi sosial dan ketrampilan kewarganegaraan (citizenship skills).
5. Mengenal keberagaman dalam penggunaan bahasa.
Pendidikan Multikultural memberi tekanan bahwa sekolah pada dasarnya berfungsi mendasari perubahan masyarakat dan meniadakan penindasan dan ketidak adilan. Fungsi pendidikan multikultural yang mendasar adalah mempengaruhi perubahan sosial. Jalan di atas dapat dirinci menjadi tiga butir perubahan :
1. perubahan diri
2. perubahan sekolah dan persekolahan
3. perubahan masyarakat
Perubahan diri dimaknai sebagai perubahan dimulai dari diri siswa sendiri itu sendiri yang lebih menghargai orang lain agar dia bisa hidup damai dengan sekelilingnya. Kemudian diwujudkan dalam tata tutur dan tata perlakunya di lingkungan sekolah dan berlanjut hingga di masyarakat. Karena sekolah merupakan agen perubahan, maka diharapkan ada perubahan yang terjadi di masyarakat seiring dengan terjadi perubahan yang terdapat dalam lingkungan persekolahan. (Gorski, 2001).
E.Teori Pendidikan Multikultural
1. Horace Kallen
Jika budaya suatu bangsa memiliki banyak segi, nilai-nilai dan lain-lain; budaya itu dapat disebut pluralisme budaya (cultural pluralism). Teori pluralisme budaya ini dikembangkan oleh Horace Kallen. Ia menggambarkan pluralisme budaya itu dengan definisi operasional sebagai menghargai berbagai tingkat perbedaaan, tetapi masih dalam batas-batas menjaga persatuan nasional. Kallen mencoba mengekspresikan bahwa masing-masing kelompok etnis dan budaya di Amerika Serikat itu penting dan masing-masing berkontribusi unik menambah variasi dan kekayaan budaya, misalnya bangsa Amerika. Teori Kallen mengakui bahwa budaya yang dominan harus juga diakui masyarakat. Dalam konteks ini Kallen tetap mengakui bahwa budaya WASP di AS itu sebagai budaya yang dominan, sementara budaya-budaya yang lain itu dipandang menambah variasi dan kekayaan budaya Amerika
2. James A. Banks
Kalau Horace Kallen perintis teori multikultur, maka James A. Banks dikenal sebagai perintis Pendidikan Multikultur. Jadi penekanan dan perhatiannya difokuskan pada pendidikannya. Banks yakin bahwa sebagian dari pendidikan lebih mengarah pada mengajari bagaimana berpikir daripada apa yang dipikirkan. Ia menjelaskan bahwa siswa harus diajar memahami semua jenis pengetahuan, aktif mendiskusikan konstruksi pengetahuan (knowledge construction) dan interpretasi yang berbeda-beda. Siswa yang baik adalah siswa yang selalu mempelajari semua pengetahuan dan turut serta secara aktif dalam membicarakan konstruksi pengetahuan. Dia juga perlu disadarkan bahwa di dalam pengetahuan yang dia terima itu terdapat beraneka ragam interpretasi yang sangat ditentukan oleh kepentingan masing-masing. Bahkan interpretasi itu nampak bertentangan sesuai dengan sudut pandangnya. Siswa seharusnya diajari juga dalam menginterpretasikan sejarah masa lalu dan dalam pembentukan sejarah (interpretations of the history of the past and history in the making) sesuai dengan sudut pandang mereka sendiri. Mereka perlu diajari bahwa mereka sebenarnya memiliki interpretasi sendiri tentang peristiwa masa lalu yang mungkin penafsiran itu berbeda dan bertentangan dengan penafsiran orang lain.
3. Bill Martin
Dalam tulisannya yang berjudul Multiculturalism: Consumerist or Transformational?, Bill Martin menulis, bahwa keseluruhan isu tentang multikulturalisme memunculkan pertanyaan tentang "perbedaan" yang nampak sudah dilakukan berbagai teori filsafat atau teori sosial. Sebagai agenda sosial dan politik, jika multikulturalisme lebih dari sekedar tempat bernaung berbagai kelompok yang berbeda, maka harus benar-benar menjadi 'pertemuan' dari berbagai kelompok itu yang tujuannya untuk membawa pengaruh radikal bagi semua umat manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal (Martin, 1998: 128)
F. Pendekatan terhadap Pendidikan Multikultural
Tahap-tahap Integrasi Materi Multikultural ke dalam Kurikulum:
1. Pendekatan kontribusi
Ciri pendekatan kontribusi adalah dengan memasukkan pahlawan etnis dan benda-benda budaya yang khas ke dalam kurikulum, yang dipilih dengan menggunakan kriteria budaya aliaran utama.
2. Pendekatan Aditif
Pendekatan aditif memungkinkan pengajar untuk memasukkan materi etnis ke dalam kurikulum tanpa restrukturisasi, suatu proses yang akan memakan waktu, usaha, latihan dan pemikiran kembali dari maksud, sifat dan tujuan kurikulum yang substansial. Pendekatan aditif dapat menjadi fase awal dalam upaya reformasi kurikulum transformatif yang didesain untuk menyusun kembali kurikulum total dan untuk mengintegrasikannya dengan materi, perspektif dan kerangka pikir etnis.
3. Pendekatan Transformasi
Pendekatan transformasi (The transformation approach) berbeda secara mendasar dari pendekatan kontribusi dan aditif. Pada kedua pendekatan, materi etnis ditambahkan pada kurikukulum inti aliran utama tanpa mengubah asumsi dasar, sifat, dan strukturnya. Dalam pendekatan transformasi ada perubahan dalam tujuan, struktur, dan perspektif fundamental dari kurikulum.
4. Pendekatan Aksi Sosial
Pendekatan Aksi Sosial (the Social Action Approach) mencakup semua elemen dari pendekatan transformasi namun menambahkan komponen yang mempersyaratkan siswa membuat keputusan dan melakukan aksi yang berkaitan dengan konsep, isu, atau masalah yang dipelajari dalam unit. Tujuan utama dari pengajaran dalam pendekatan ini adalah mendidik siswa melakukan untuk kritik sosial dan perubahan sosial dan mengajari mereka ketrampilan pembuatan keputusan. Untuk memperkuat siswa dan membantu mereka memperoleh kemanjuran politis, sekolah seharusnya membantunya menjadi kritikus sosial yang reflektif dan partisipan yang terlatih dalam perubahan sosial. Tujuan tradisional dari persekolahan yang telah ada adalah untuk mensosialisasi siswa sehingga mereka menerima tanpa bertanya ideologi, lembaga, dan praktek yang ada dalam masyarakat dan negara.
G. Karakteristik Indonesia Sebagai Masyarakat Multikultur
A. Karakteristik Indonesia
1. Jumlah penduduk yang besar dengan ketrampilan yang rendah.
2. Wilayah yang luas. Indonesia memiliki wilayah seluas 1.922.570 km persegi yang menduduki urutan 15 terbesar dunia.
3. Posisi silang. Indonesia terletak di antara dua Samudra (Samudra Hindia dan Samudra Pasifik) dan dua benua (Asia dan Australia)
4. Kekayaan alam dan daerah tropis.
5. Jumlah pulau yang banyak.
6. Persebaran pulau.
7. Kualitas hidup yang tidak seimbang
8. Perbedaan dan kekayaan etnis.
H. Problem Pendidikan Multikultural di Indonesia
1) Keragaman Identitas Budaya Daerah
2) Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah
3) Kurang Kokohnya Nasionalisme
4) Fanatisme Sempit
5) Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
6) Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara Kelompok Budaya
7)Keberpihakan yang salah dari Media Massa, khususnya televisi swasta dalam
memberitakan peristiwa.
I. Problem Pembelajaran Pendidikan Multikultural
Beberapa permasalahan awal Pembelajaran Berbasis Budaya pada tahap persiapan awal, antara lain:
1) guru kurang mengenal budayanya sendiri, budaya lokal maupun budaya peserta didik;
2) guru kurang menguasai garis besar struktur dan budaya etnis peserta didiknya, terutama dalam konteks mata pelajaran yang akan diajarkannya;
3) rendahnya kemampuan guru dalam mempersiapkan peralatan yang dapat merangsang minat, ingatan, dan pengenalan kembali peserta didik terhadap khasanah budaya masing-masing dalam konteks budaya masing-masing dalam konteks pengalaman belajar yang diperoleh (Dikti, 2004: 5).
J. Pengembangan Pendidikan Multikultural di Indonesia
Makna Pendidikan Multikultural dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Pendidikan Multikultural
A. Pendidikan Multikultural sebagai gerakan reformasi pendidikan.
Pendidikan Multikultural dapat dipandang sebagai suatu gerakan reformasi yang mengubah semua komponen kegiatan pendidikan. Komponen itu mencakup:
a. nilai-nilai yang mendasari, artinya nilai-nilai yang bersifat pluralisme harus mendasari seluruh komponen pendidikan. Keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan filsafat yang mendasarinya.
b. aturan prosedural, artinya aturan prosedural yang berlaku harus berpijak dan berpihak pada semua kelompok yang beragam itu.
c. kurikulum. Keragaman budaya menjadi dasar dalam mengembangkan berbagai komponen kurikulum seperti tujuan, bahan, proses, dan evaluasi. Artinya dibutuhkan penyusunan kurikulum baru yang di dalamnya mencerminkan nilai-nilai multikultural. Kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional.
d. bahan ajar, artinya materi multikultural itu harus tercermin dalam materi pelajaran, pada semua bidang studi. Multikultural bukan hanya diajarkan satu bidang studi melainkan lebih merupakan materi pelajaran yang bisa disisipkan pada semua bidang studi.
e. struktur organisasi, artinya struktur organisasi sekolah itu perlu mencerminkan kondisi riil yang pluralistik. Budaya di lingkungan unit pendidikan yang pluralistik adalah sumber belajar dan objek studi yang harus dijadikan bagian dari kegiatan belajar siswa
f. pola kebijakan artinya pola kebijakan yang diambil oleh pembuat keputusan itu merefleksikan pluralisme budaya.
B. Pendidikan Multikultural sebagai proses.
Pendidikan Multikulturan bermaksud untuk mengubah struktur lembaga pendidikan sehingga semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai kesuksesan akademis. Pendidikan Multikultural merupakan suatu proses yang terus menerus yang membutuhkan investasi waktu jangka panjang di samping aksi yang terencana dan dimonitor secara hati-hati (Banks & Banks, 1993). Selain di lembaga pendidikan, siswa dapat pula mengalami proses pembelajaran yang diperoleh lewat perilaku yang terencana dan sistematis. Siswa dapat memperoleh pembelajaran lewat penyadaran dan penghormatan terhadap orang cacat dengan memberi jalur khusus di stasiun, terminal ataupun bandara. Di kota besar seperti Jakarta, pemberian jalur khusus untuk orang cacat (misalnya stasiun Gambir dan Bandara Sukarno Hatta) dapat membelajarkan siswa.
K. Prinsip Pengembangan Pendidikan Multikultural di Indonesia
A. Bentuk Pengembangan Pendidikan Multikultural di Indonesia
Bentuk pengembangan Pendidikan Multikultural di setiap negara dapat berbeda-beda sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing negara. Pengembangan Pendidikan Multikultural di Indonesia dapat berbentuk :
1. Penambahan materi multikultural yang dalam aktualisasinya berupa pemberian materi tentang berbagai budaya yang ada di tanah air dan budaya berbagai belahan dunia. Pesan multikultural bisa dititipkan pada semua bidang studi atau mata pelajaran yang memungkinkan untuk itu. Semua bidang studi bisa bermuatan multikultural. Namun disadari bahwa ada mata pelajaran yang lebih mungkin dibandingkan yang lain untuk mengajarkan Pendidikan Multikultural. Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial lebih mungkin mengajarkan multikultural dibandingkan dengan matematika.
2. Berbentuk bidang studi atau mata pelajaran yang berdiri sendiri. Sekarang sudah ada perintisan yang dilakukan dalam bentuk satu mata pelajaran atau bidang studi yang berdiri sendiri. Hal ini dimaksudkan agar Pendidikan Multikultural sebagai ide, gerakan reformasi dan proses tidak dilakukan sambil lalu dan seingatnya namun benar-benar direncanakan secara sistematis. Tiga hal di atas tidak akan dapat dicapai bila hanya dicantumkan sebagai satu pokok bahasan atau sub pokok bahasan dalam satu bidang studi.
3. Berbentuk program dan praktek terencana dari lembaga pendidikan. Pendidikan Multikultural berkaitan dengan tuntutan, kebutuhan, dan aspirasi dari kelompok yang berbeda. Konsekuensinya, Pendidikan Multikultural tidak dapat diidentifikasi sebagai praktek aktual satu bidang studi atau program pendidikan saja. Lebih dari itu, pendidik yang mempraktekkan makna Pendidikan Multikultural akan menggambarkan berbagai program dan praktek yang berkaitan dengan persamaan pendidikan, perempuan, kelompok etnis, minoritas bahasa, kelompok berpenghasilan rendah, dan orang-orang yang tidak mampu.
4. Pada wilayah kerja sekolah, Pendidikan Multikultural mungkin berarti (1) suatu kurikulum yang berhubungan dengan pengalaman kelompok etnis; (2) suatu program yang mencakup pengalaman multikultural, dan (3) suatu total school reform, upaya yang didesain untuk meningkatkan keadilan pendidikan bagi
kelompok budaya, etnis, dan ekonomis. Ini lebih luas dan lebih komprehensif dan biasa disebut reformasi kurikulum.
5. Gerakan persamaan. Gerakan persamaan ini lebih dilhat sebagai kegiatan nyata
daripada sekedar dibicarakan dalam forum-forum ilmiah. Di Kabupaten Nabire, Papua ada sebuah kampung yang mencerminkan gerakan kebhinekaan yang bernama Kampung Bhineka Tunggal Ika. Penduduk Kampung Bhineka Tunggal Ika ini terdiri dari orang Papua, Timor, Jawa dan Bugis.
6. Proses. Sebagai proses, maka tujuan Pendidikan Multikultural yang berasal keadilan sosial, persamaan, demokrasi, toleransi dan penghormatan hak asasi manusia tidak mudah tercapai. Perlu proses panjang dan berkelanjutan. Perlu ada pembudayaan di segenap sektor kehidupan.
L. Asas-Asas dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia
Ada beberapa asas yang menjadi ciri khas Pendidikan Multikultural Indonesia mengingat akan situasi dan kondisi bangsa Indonesia yang telah ditempa sejarah penjajahan yang panjang. Asas-asas itu antara lain :
a. Asas wawasan nasional/kebangsaan (persatuan dalam perbedaan). Asas ini menekankan pada konsep kenasionalan/kebangsaan. Asas yang didasarkan kepemilikan bersama (sense of belonging) yang menjadi ciri budaya bangsa. Pancasila yang menjadi kepribadian bangsa merupakan kristalisasi nilai budaya bangsa yang menjadi ciri unik Indonesia yang berbeda dengan bangsa lain. Batik, wayang, musik keroncong, pencak silat, kesenian suku Asmat yang dikenal dan diterima di segenap wilayah negara ini sudah menjadi ikon nasional dan ikon bangsa. Dengan menyebut satu budaya itu dunia mengetahui bahwa itu adalah ciri khas budaya bangsa Indonesia.
b. Asas Bhineka Tunggal Ika (perbedaan dalam persatuan). Konsep ini menekankan keragaman dalam budaya yang menyatu dalam wilayah negara kita. Keragaman dalam jenis tarian, pakaian, makanan, bentuk rumah dan sebagainya menjadikan Indonesia dikenal memiliki kekayaan budaya yang menjadi mosaik budaya.
c. Asas kesederajatan. Indonesia yang menghormati asas ini. Semua budaya dipandang sederajat, diakui dan dikembangkan dalam kesetaraan. Tidak ada dominasi yang memaksakan ke kelompok kecil. Kalau kebetulan budaya Jawa lebih dikenal itu karena persoalan jumlah penduduk yang menduduki wilayah Jawa yang padat bukan dominasi budaya sebagaimana halnya orang barat menganggap warga kulit putih (White) yang lebih tinggi daripada kelompok kulit berwarna (colour).
d. Asas selaras, serasi dan seimbang. Semua budaya dikembangkan selaras dengan perkembangan masing-masing, diserasikan dengan kondisi riil masing-masing dan seimbang di seluruh wilayah dan seluruh bangsa Indonesia.
M. Tiga Prinsip Penyusunan Program dalam Pendidikan Multikultural
Ada tiga prinsip yang digunakan dalam menyusun program Pendidikan Multikultural,yaitu :
1. Pendidikan Multikultural didasarkan kepada pedagogik baru yaitu pedagogik yang berdasarkan kesetaraan manusia (equity pedagogy). Pedagogik kesetaraan bukan hanya mengakui hak asasi manusia tetapi juga hak kelompok manusia, kelompok suku bangsa, kelompok bangsa untuk hidup berdasarkan kebudayaannya sendiri. Ada kesetaraan individu, antarindividu, antarbudaya, antarbangsa, antaragama. Pedagogik kesetaraan berpangkal kepada pandangan mengenai kesetaraan martabat manusia (dignity of human).
2. Pendidikan Multikultural ditujukan pada terwujudnya manusia yang berbudaya. Hanya manusia yang melek budayalah yang dapat membangun kehidupan bangsa yang berbudaya. Manusia yang berbudaya adalah manusia yang membuka diri dari pemikirannya yang terbatas. Manusia yang berbudaya hanya dibentuk di dalam dunia yang terbuka. Manusia berbudaya juga manusia yang bermoral dan beriman yang dapat hidup bersama yang penuh toleransi yang bukan sekedar demokrasi prosedural tapi demokrasi substantif.
3. Prinsip globalisasi budaya.Globalisasi kebudayaan ditandai dengan pesatnya kemajuan teknologi, produk multinasional, perluasan budaya populer. Budaya handphone, internet dan e-commerce sudah menggejala secara global.
N. Peranan Sekolah Dasar Sebagai Lembaga Pengembangan Pendidikan Multikultural
Peranan Sekolah Dasar sebagai Sistem Sosial
Variabel dan faktor sekolah sebagai sistem sosial itu antara lain :
1. Kebijakan dan politik sekolah
Dengan era KTSP sekarang ini kebijakan dan politik sekolah sangat menentukan ke arah mana anak didik akan dikembangkan potensinya. Kebijakan dan politik sekolah yang bernuansa khas dan unggul dapat dikembangkan oleh sekolah itu secara terencana dan berkelanjutan.
2. Budaya sekolah dan kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum)
Budaya yang berlangsung di sekolah dan kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum) sangat menentukan kepribadian yang dikembangkan pada lingkungan sekolah. Keunikan budaya sekolah dapat dibaca sebagai keunggulan komparatif. Misalnya di Sekolah Dasar tertentu dibudayakan untuk setiap hari guru atau kepala sekolah menyambut kedatangan siswa di depan pagar secara bergiliran untuk bersalaman untuk mengajarkan nilai keakraban, kekeluargaan, rasa saling hormat dan kasih sayang.
3. Gaya belajar dan sekolah
Gaya belajar dan sekolah ikut mewarnai pembelajaran yang berlangsung di sekolah itu. Gaya belajar siswa hendaknya diperhitungkan oleh sekolah dalam pembuatan kebijakan dan dalam menciptakan gaya (style) sekolah itu dalam menciptkan kondisi belajar yang nyaman dan akrab dengan kondisi siswa. Tentu tidak sama gaya sekolah perkotaan dengan segala fasilitasnya dengan gaya sekolah pedesaan.
4. Bahasa dan dialog sekolah
Bahasa dan dialek sekolah di sini berkaitan dengan bahasa dan dialek yang digunakan di sekolah di mana sekolah itu berada. Sekolah yang ada di Madura tentunya, disadari atau tidak, akan mempengaruhi budaya anak didiknya karena dalam keseharian guru dan siswa itu akan berkomunikasi lewat bahasa Madura atau minimal logat dialek Madura yang kental. Sekalipun menggunakan bahasa Indonesia, kita akan dengan mudah mengenali budaya anak didik dengan mengenal bahasa dan dialek yang digunakan siswanya. Sekolah dasar di Jawa, khususnya Jawa Tengah atau sebagian Jawa Timur yang banyak menggunakan bahasa dan dialek Jawa dapat membuat program mingguan misalnya. Hari Sabtu untuk menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil pada waktu istirahat. Kegiatan ini untuk menumbuh sikap hormat dan kesantunan pada anak didik lewat penggunaan bahasa dan dialek yang dibudayakan di sekolah.
5. Partisipasi dan input masyarakat
Partisipasi dan input sekolah ikut menentukan arah kebijakan dan iklim sekolah yang akan dikembangkan. Peranan Komite Sekolah sangat bervariasi di tiap-tiap sekolah dasar. Bila kesadaran masyarakat akan pendidikan tinggi dan komite sekolah dipimpin oleh orang yang memiliki wawasan pendidikan yang baik maka sekolah itu akan banyak mendapat bantuan dari masyarakat, baik dana maupun pemantauan ke arah pengembangan sekolah ke depan. Untuk itu Komite Sekolah perlu dipimpin oleh orang yang bukan saja dikenal, disegani dan berpengaruh di masyarakat, tetapi juga orang yang memiliki komitemen yang tinggi terhadap kemajuan pendidikan putra-putrinya.
6. Program penyuluhan/konseling
Program bimbingan dan penyuluhan/konseling akan berperanan dalam membantu mengatasi kesulitan belajar pada anak, baik itu anak yang mengalami kelambatan belajar maupun anak yang memiliki bakat khusus. Petugas penyuluhan dapat memberikan masukan pada kepala sekolah tentang bakat terpendam dari siswa asuhannya. Kemungkinan ada anak yang lemah dalam mata pelajaran tertentu ternyata dia memiliki bakat yang besar dalam menari dan menyanyi yang membutuhkan penyaluran bakat yang memadai.
7. Prosedur asesmen dan pengujian
Memang saat ini, kita masih belum boleh melakukan prosedur asesmen dan pengujian sendiri untuk mata pelajaran yang diujikan dalam UAN (Ujian Akhir Nasional), namun kita bisa mengembangkan pada mata pelajaran yang bukan termasuk dalam UAN. Asesmen dan pengujian tidak identik dengan duduk di kelas dan mengerjakan soal dalam bentuk paper-pencil test. Asesmen bersifat holistik yang menggambarkan kemampuan aktual keseharian anak. Anak akan dinilai secara beda dalam arti dikurangi skornya bila dia terlibat dalam tindakan yang kurang bermoral misalnya mencuri, sering membolos, kurang sopan, merokok di sekolah dan sebagainya, walaupun dalam ujian di kelas nilainya bagus. Atau sebaliknya, siswa yang menunjukkan penampilan dan sikap yang baik akan mendapat skor tambahan yang dapat membantu mengangkat nilainya saat ujian di kelas.
8. Materi pembelajaran
Materi pelajaran pada semua bidang studi atau bidang yang paling cocok dapat memasukkan materi budaya itu dalam pembelajaran. Penggunaan sempoa pada matapelajaran matematika, materi bacaan pada pelajaran Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial, permainan tradisional dalam pelajaran olah raga dan sebagainya. Kurikulum formal dan bidang studi
Kurikulum formal dan bidang studi perlu memasukkan Pendidikan Multikultural itu sebagai bidang studi tersendiri. Perlu ada bidang studi Pendidikan Multikultural tersendiri di sekolah dasar untuk lebih mengenalkan budaya secara lebih terencana, terorganisir dan matang, bukan sekedar dititipkan pada materi yang ada pada bidang studi yang lain. Sekarang ini sudah ada sekolah dasar yang secara tegas memunculkan bidang studi Pendidikan Multikultural di sekolah dasar. Diharapkan hal ini akan diikuti oleh sekolah dasar yang lain.
9. gaya dan strategi mengajar
Gaya dan strategi mengajar guru akan turut menentukan pendidikan anak didiknya. Mengapa? Tentunya guru yang sedang mengajar anak didiknya tentunya sarat dengan nilai budaya. Dia memiliki ideologi dan nilai-nilai budaya yang diperoleh sepanjang hidupnya. Hal itu tentunya sangat mewarnai gaya dan strategi mengajar yang dia gunakan di sekolah.
10. Sikap, persepsi, kepercayaan dan perilaku staf sekolah
Sikap, persepsi, kepercayaan dan perilaku staf sekolah juga mempengaruhi kinerja sekolah. Seluruh staf yang mendukung pembelajaran akan sangat membantu menciptakan kondisi pembelajaran yang diinginkan dan begitu juga sebaliknya. Bila staf sekolah biasa berbicara dengan tatakrama yang baik dan sopan maka anak didik juga akan dibiasakan menggunakan itu di sekolah dan pada gilirannya menggunakannya di rumah dan di masyarakat. Hal ini berarti staf sekolah perlu dipilih dan diangkat dari orang yang mengerti dan mendapat bekal pendidikan yang sesuai. Staf sekolah bukan sekedar berurusan dengan benda mati seperti kertas, penggaris, alat tulis atau tanaman yang ada di sekolah, namun bergaul dengan seluruh komponen sekolah. Sikap sinis dan tidak peduli dari staf sekolah akan sangat mempengaruhi kinerja sekolah. Untuk itu perlulah memilih orang yang benar-benar cocok untuk profesi itu.
O. Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Budaya Menuju Transformasi Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar
Tahap transformasi kurikulum berikut diadaptasi dari beberapa model yang ada, termasuk oleh Banks (1993) dan McIntosh (2000), dan Paul C. Gorski.
Tahap 1. Status Quo atau Kurikulum Dominan (curriculum of the mainstream)
Di Amerika, kurikulum dominan berpusat pada Eropah dan pria. Kurikulum sangat mengabaikan pengalaman, suara, sumbangan, dan perspektif dari individu dan kelompok non-dominan pada semua bidang. Semua materi pendidikan yang mencakup buku teks, film, dan alat belajar yang lain menyajikan informasi dalam format yang Eropah-sentris dan pria sentris murni. Sleeter dan Grant (1999: 37) melihat tahap ini bertujuan mengasimilasi siswa yang terabaikan. Kurikulum dan pembelajaran berfokus pada "strategi mengajar yang memperbaiki kekurangan atau membangun jembatan antara siswa dan sekolah ".
Tahap 2. Hari Libur dan Pahlawan (Makanan, Festival, & Kesenangan)
Pada tahap ini ada kegiatan "merayakan" perbedaan dengan menyatukan informasi atau sumber tentang orang terkenal dan benda budaya dari berbagai kelompok ke dalam kurikulum yang dominan. Papan pengumuman dapat berisi gambar dari tokoh-tokoh kelompok yang bukan dominan dan guru dapat merencanakan perayaan khusus untuk Hari Kartini, Hari Anak, Hari Pahlawan atau HUT Kemerdekaan. Pagelaran tentang “budaya yang lain” berfokus pada kostum, makanan, musik, dan item budaya yang dapat diraba lainnya (other tangible cultural items). Kekuatan dari tahap ini adalah bahwa pengajar mencoba mendiversifikasi kurikulum dengan memberi materi dan pengetahuan di luar budaya dominan dan bahwa pendekatan Hari Libur dan Pahlawan benar-benar mudah diimplimentasikan dengan hanya memerlukan sedikit pengetahuan baru.
Tahap 3: Integrasi
Pada tahap Integrasi, guru melampaui kepahlawanan dan hari libur dengan menambahkan materi dan pengetahuan substansial tentang kelompok bukan dominan ke dalam kurikulum. Pengajar dapat menambahkan pada koleksi buku yang ditulis oleh penulis dari kelompok lain. Ia dapat menambahkan suatu unit yang mencakup, misalnya, peranan wanita pada Perang Dunia I. Guru musik dapat menambah dari daerah Papua atau tarian Cakalele dari Maluku Utara. Pada level sekolah, sejarah kota tertentu dapat ditambahkan pada keseluruhan kurikulum.
Tahap 4. Belajar dan Mengajar Antarbudaya (Kamus Budaya)
Guru mempelajari tradisi dan perilaku budaya asal siswanya dalam upaya untuk lebih memahami bagaimana guru itu harus memperlakukan siswa itu. Di Barat, khususnya Amerika Serikat, guru memiliki buku pegangan yang mendeskripsikan bagaimana mereka seharusnya berhubungan dengan siswa Afrika-Amerika, siswa Latin, siswa Asia Amerika, siswa Amerika Asli, dan kelompok lain berdasarkan interpretasi terhadap tradisi dan gaya komunikasi dari kelompok tertentu itu. Di Indonesia, khususnya di Jawa guru perlu lebih mengenal budaya Jawa secara utuh budaya Jawa walaupun dia berasal dari luar Jawa.
Tahap 5: Reformasi Struktural
Materi, perspektif, dan suara baru diserukan dengan kerangka kerja pengetahuan yang mutakhir untuk memberi tahap pemahaman baru dari kurikulum yang lebih lengkap dan akurat. Guru mendedikasikan dirinya untuk memperluas dasar pengetahuannya secara berkelanjutan melalui eksplorasi berbagai perspektif, dan berbagi pengetahuan dengan siswanya. Siswa belajar memandang peristiwa, konsep, dan fakta melalui berbagai kacamata. Misalnya, untuk "Sejarah Amerika" mencakup sejarah orang Afrika-Amerika, Sejarah Wanita, Sejarah orang Asia Amerika, Sejarah orang Amerika Latin, dan semua bidang pengetahuan yang berbeda. Nah sekarang, Anda bandingkan dengan kondisi yang ada di Indonesia. Apa yang sebaiknya dicantumkan untuk memenuhi ketentuan ini.
Tahap 6 Hubungan Manusia (Mengapa-kita-tidak-semuanya-ikut-serta)
Anggota masyarakat sekolah didorong untuk memperingati perbedaan dengan membuat hubungan lintas identitas kelompok yang berbeda. Guru memperlihatkan antusiasme untuk mempelajari tentang budaya “yang lain” melalui pendekatan Belajar dan Mengajar Antarbudaya (Intercultural Teaching and Learning approach). Guru menggambarkan pengalaman pribadi siswa sehingga siswa dapat belajar dari masing-masing yang lain. Melalui hubungan antar pribadi, itu siswa dapat mengenal budaya siswa yang lain. Perbedaan pengalaman dan budaya siswa yang berbeda-beda itu dilihat sebagai aset yang memperkaya pengalaman kelas.
Tahap 7. Pendidikan Multikultural Selektif (Kita melakukan Pendidikan Multikultural secara temporer)
Guru dan staf memulai program temporer dan satu waktu tertentu dengan mengenal adanya keketidak samaan dalam berbagai aspek pendidikan. Mereka dipanggil bersama-sama dalam suatu pertemuan untuk mendiskusikan konflik rasial atau mendatangkan seorang konsultan untuk membantu guru merancang perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang ditujukan untuk berbagai kelompok yang berbeda.
Tahap 8. Pendidikan Multikultural Transformatif (Pendidikan persamaan dan Keadilan Sosial)
Semua praktek pendidikan dimulai dengan penentuan yang sama pada semua aspek sekolah dan persekolahan dan menjamin bahwa semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk menggapai potensi sepenuhnya sebagai pelajar. Semua praktek pendidikan yang menguntungkan suatu kelompok yang merugikan kelompok lain diubah untuk menjamin persamaan. Tahap keenam ini sama dan sejalan dengan pendekatan aksi sosial dari James A. Banks.
BAB III
Kesimpulan
Negara Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai pulau, ras, suku dan kebudayaan-kebudayaan lain. Untuk itu sebagai warga Negara yang cinta tanah air kita harus menjaga keanekaragaman kebudayaan kita. Kita dianjurkan untuk hidup saling berdampingan satu sama lain sehingga tidak ada pertengkaran dan perpecahan kebudayaan.
Pendidikan multikultural merupakan pembelajaran yang berbasis kebudayaan. Dalam pembelajaran kita wajib mengkaitkan materi dengan kebudayaan yang ada sehingga kita lebih jelas mengenai pengamalan-pengamalan apa saja yang ada di dalamnya.
Salah satu metode pembelajaran yang dapat mengkaitkan meteri dengan kebudayaan yaitu cooperative learning. Dalam pembelajaran tersebut dapat memasukkan kebudayaan kita menggunakan metode diskusi dll.
Saran
Dengan adanya pendidikan multikultural semoga warga Indonesia semakin memahami kebudayaan yang kita miliki. Guru sebagai fasilisator harus membantu murid untuk mencapai tingkat pemehamannya.
Daftar Pustaka
Sutarno. 1997. Pendidikan Multikultural.Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
www.wikipedia.com
Langganan:
Postingan (Atom)