Sebagai muslim, sebuah keniscayaan untuk bisa menjalankan Islam secara kaffah (keseluruhan). Namun jauh sebelum mencapainya, tentu ada banyak hal yang harus dipelajari dan dipikirkan. Apakah benar bahwa untuk menjadi Islam kaffah harus mendirikan sebuah negara Islam"? Apakah harus dengan mendirikan khilafah Islamiyah (imperium Islam) dengan satu khalifah (pemimpin) yang ditaati kaum muslim di manapun berada? Apakah harus dengan berpartisipasi politik kepada partai yang berlabel Islam?
Lika-liku kehidupan menggoda kepada kita untuk tidak bersikap sabar dan berat memberi maaf. Misalnya saja arus globalisasi dan modernisasi. Arus bias Barat tersebut telah membuat orang-orang di negara berkembang seperti Indonesia semakin terpinggirkan. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya kemampuan masyarakat untuk bisa berasimilasi dengan baik terhadap arus terebut. Maka hasilnya adalah semakin banyaknya ketimpangan, baik sosial, politik, maupun ekonomi. Di satu sisi negara-negara asing sangat gencar menghasilkan penemuan-penemuan baru dalam berbagai bidang yang selanjutnya disebarkan ke berbagai negeri, sedangkan orang-orang di negeri ini masih aktif berbudaya konsumerisme atas produk asing. Bahkan untuk bisa mendapatkannya rela berkorban menjual budaya dan tradisi sendiri. Ditambah lagi dengan para penguasa di negeri ini yang belum juga mengakui atas kesalahan-kesalahan dalam ketidakberhasilan mewujudkan amanah rakyatnya. Akhirnya yang terjadi adalah kesenjangan dan ketimpangan antara pemerintah, rakyat dan negeri asing. Hal ini mengakibatkan ketidakpercayaan antara satu dengan yang lainnya. Kemudian sikap tidak percaya dan saling curiga menjalar ke semua kelompok kehidupan, baik suku, adat, ras, agama ataupun golongan. Disinilah semua kelompok-kelompok tersebut merasa terlahir kembali. Terlahir untuk menunjukkan bahwa dari kelompoknyalah akan terwujud kehidupan yang diinginkan orang banyak. Di sini agama menjadi salah satu faktor terpenting sebagai landasan untuk mewujudkan cita-cita tersebut, termasuk Islam dan pemeluk-pemeluknya.
Ada beberapa kelompok yang menyuarakan Islam kaffah dengan berpijak ayat sebagai berikut; "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu" (QS. Al-Baqarah: 208). Ini jelas berbeda dari sebagian kaum muslimin yang mengartikan kata fi al-silmi dalam kalimat "udkhulu fi al-silmi kaffah" sebagai sifat kedamaian, bukan sebagai Islam. Namun berbeda di sini bukanlah sebuah masalah. Yang menjadi pokok permasalahannya adalah, mengapa di satu sisi mereka menyerukan Islam yang sempurna, sedang di sisi lain mereka juga membangga-banggakan sekelompok manusia dari kelompok-kelompok yang lain? Perbuatan tersebut secara tidak langsung sama halnya merendahkan kelompok lain tersebut. Hal itu dengan sendirinya sangat bertentangan dengan firman Tuhan; "Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)" (QS. al-Mukminun: 53), yang padahal sudah dijelaskan bahwa perbuatan tersebut juga tergolong dalam perbuatan yang tidak disukai Tuhan. Hal itu digambarkan dengan firman selanjutnya; "Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu" (QS. al-Mukminun: 54). Maka jelaslah bahwa Muhammad SAW sebagai rasul pembawa amanah Tuhan bukanlah untuk sebagian umat atau kelompok tertentu.
Sebagaimana firman Tuhan; "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam" (QS. al-Anbiya': 107). Ayat yang sering diucapkan namun sulit merealisasikannya.
Ada juga mereka yang berjuang kukuh untuk mendirikan negara Islam dengan berlandaskan firman; "Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridlai Islam itu jadi agama bagimu" (QS. Al-Maaidah: 3). Mereka beranggapan bahwa Islam adalah sistem hidup paling sempurna yang hanya bisa diwujudkan dengan cara mendirikan negara agama atau sistem yang “agamis”. Anggapan tersebut mengandaikan bahwa Islam hanya akan sempurna dengan cara mendirikan agama. Pengandaian tersebut justru akan mengingkari sifat agama Islam bahwa; "Islam adalah agama yang sesuai di segala waktu dan ruang". Karena bagaimanapun, Islam sempurna bukan karena kedudukannya sebagai negara, juga bukan karena ia meninggalkan negara. Akan tetapi, Islam sempurna karena keluasannya dan kemampuannya untuk bisa melingkupi seluruh alam. Alam di sini berarti sesuatu yang selain Tuhan, dan selain Tuhan berarti makhluk. Makhluk berarti semua ciptaan Tuhan, termasuk di dalamnya adalah segala sistem ruang dan waktu. Keluasan Islam tersebut dengan demikian membuktikan kebesaran agama Tuhan. Dan barang siapa yang mengartikan Islam dengan sempit, maka dengan sendirinya menganggap kemampuan Tuhan sangat sempit. Maka dari itu, untuk membaca Islam yang sangat luas, sangat diperlukan cara pandang yang luas. Dan seandainya hal tersebut belum dilakukan, bisa dipastikan bahwa hasilnya adalah suatu pandangan yang jauh dari kesempurnaan Islam.
Ada juga beberapa partai politik yang sekan-akan menjamin pengikutnya akan mendapat surga kelak di akhirat. Partai tersebut berasaskan agama, oleh karenanya mereka memberi julukan dengan sebutan partai agama. Entah mengapa tiba-tiba lahir sebuah asumsi umum dari partai-partai tersebut bahwa, seseorang akan mudah menjadi muslim kaffah bila masuk dan berpartisipasi pada acara-acara partai politiknya. Apakah hal tersebut tidak bertentangan dengan firman Tuhan; "Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)" (QS. al-Mukminun: 53)? Dalam hal ini penulis teringat pada perkataan Ibnu Aqil; “Politik adalah semua tindakan yang mendorong kepada kebanyakan manusia untuk lebih mendekatkan kepada kebaikan dan menjauhkan dari kerusakan, tidak merendahkan Rasul Muhammad SAW, dan tidak menghina wahyu-wahyu Tuhan yang telah diturunkan kepadanya. Tiada politik yang membuat orang berpengetahuan syariat agama akan terbebas dari kesalahan, pun demikian yang dialami oleh para sahabat Nabi SAW.” Tentunya Ibnu Aqil tidak bermaksud menghina para sahabat, hal itu dimaksudkan bahwa manusia mempunyai sifat yang selalu melekat, yaitu kekurangan. Sahabat sebagai orang dekat Nabi Muhammad SAW saja tak luput dari salah, apalagi manusia biasa yang hidup jauh dari zaman Nabi. Maka jelaslah bahwa sebuah partai politik tidak dapat menjamin ukuran kesempurnaan Islamnya seseorang. Hal terpenting dalam berpolitik adalah, bertujuan untuk menciptakan sebuah kebaikan dan menjauhi segala kerusakan, serta menghormati segala sesuatu yang berbeda, dan tidak merendahkan atau menghina kelompok lain.
Sebagai penganut Islam, kita percaya bahwa Islam adalah agama sempurna. Akan tetapi kita tidak boleh mengingkari bahwa manusia bukanlah makhluk sempurna, ia selalu melekat dengan sifat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, hubungan antara sempurnanya Islam dan ketidaksempurnaan sebagai manusia harus dipertemukan dengan cara berdialog. Tentunya berdialog dengan segala hal yang berhubungan dengan Islam. Yang berhubungan dengan Islam apa? Karena kita menyepakati kalau Islam itu luas, maka yang berhubungan dengan Islam ya luas. Dan hal penting dalam berdialog adalah sikap menghargai pendapat lain. Akhirnya jelaslah bahwa, untuk mewujudkan tujuan Islam tidak harus dengan mendirikan negara, juga tidak dengan meninggalkan negara. Akan tetapi dengan menanamkan nilai-nilai Islam yang akan dihasilkan melalui dialog. Baik dialog antar agama, dialog antar budaya, maupun dialog antar sesuatu yang berbeda dengan Islam. Memang benar, hasil dari dialog tidak mendapatkan hasil yang benar-benar “murni” seperti yang diharapkan Islam, akan tetapi jangan diartikan bahwa Islam yang demikian tidak benar, misalnya saja Islam Jawa yang dikembangkan oleh para Wali Songo. Kita bisa berpedoman pada salah satu kaidah fikih; "Apa yang tidak tercapai seluruhnya, jangan ditinggal semuanya." Di sini Islam juga harus tetap bijak, bahwa dalam berdialog tidak boleh mengedepankan egoisme keislaman, namun juga harus tegas, dengan tidak boleh meninggalkan identitas keislaman.
Pada awal-awal abad ke-21, banyak terjadi aksi kekerasan terhadap sejumlah tempat-tempat ibadah. Ada penutupan paksa gereja, ada aksi pemboman gereja, ada bom Bali. Mereka bertopang pada firman Tuhan; "Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka" (Penggalan QS. al-Baqarah: 191). Mereka beranggapan bahwa seorang yang kafir (non-muslim) halal darahnya, dan wajib dibunuh di manapun berada. Hal tersebut jelas bertentangan dengan firman Tuhan; "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat" (Penggalan QS. al-Baqarah: 256). Dan juga bertentangan dengan ayat; "Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku" (QS. al-Kaafirun: 6).
Ada juga beberapa organisasi masyarakat yang merusak beberapa night club (klub malam), dan kios-kios yang dianggap menjual minuman keras. Mereka melakukan aksi perusakan dengan kayu, pentung, besi, dan tak jarang sambil menenteng pedang. Kelompok ini mendasarkan pada firman Tuhan; “Barang siapa di antara kalian yang melihat sebuah kemungkaran hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya, jika dia tidak mampu maka hendaklah ia ubah dengan lisannya, jika ia tidak mampu maka hendaklah ia ingkari dengan hatinya dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim). Memang Islam memerintahkan kepada para pemeluknya untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imron: 104). Tidak hanya perintah, namun Islam juga memberikan metode atau jalan yang harus ditempuh untuk sampai pada tujuan tersebut. Sebagaimana firman Tuhan; "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik" (Penggalan QS. an-Nahl: 125). Firman-firman Tuhan tersebut sudah sangat jelas bahwa Islam adalah agama kasih sayang, lebih mengedepankan perdamaian bukan kekerasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar